1. HUTANG PIUTANG DAN GADAI
A. Hutang Piutang
(al-Qardh)
1. Pengertian dan Landasan Hukum
Secara etimologi, qardh berarti al-qath’I yaitu
memotong. Di dalam kamus Al-Munawwir al-qardh berarti al-sulfah yaitu
pinjaman.
Pengertian qardh menurut terminologi, antara
lain dikemukakan oleh ulama Malikiyah adalah “sesuatu penyerahan harta
kepada orang lain yang tidak disertai imbalan atau tambahan dalam
pengembaliannya.”
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, qardh mempunyai
pengertian yakni akad pemilikan sesuatu untuk dikembalikan dengan yang sejenis
atau yang sepadan.
Dari definisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya
qardh merupakan salah satu jenis pendekatan untuk bertakarrub kepada Allah dan
merupakan jenis mu’amalah yang bercorak pertolongan kepada pihak lain untuk
memenuhi kebutuhannya.
Adapun yang menjadi landasan hukum diperbolehkannya qardh adalah Al-Qur’an surat
al hadid ayat 1 yang artinya
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka
Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan
memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11)
- Rukun dan Syarat al-Qardh
Adapun yang menjadi rukun qardh adalah:
a. Muqridh (yang memberikan pinjaman).
b. Muqtaridh (peminjam).
c. Qardh (barang yang dipinjamkan)
d. Ijab qabul
Sedangkan syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam akad qardh adalah:
a. Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.
b. Qardh harus berupa harta yang menurut syara’ boleh digunakan/dikonsumsi.
c. Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas.
3. Larangan Meraih
Keuntungan (Manfa’at) Melalui Qardh
Aqad qardh dimaksudkan untuk menolong sesama muslim,
bukan bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Para Fuqaha sepakat bahwa jika
pinjaman dipersyaratkan agar memberikan keuntungan apapun bentuknya atau
tambahan kepada pihak muqaridh, maka yang demikian itu haram hukumnya.
Jika keuntungan
tersebut tidak disyaratkan dalam akad atau jika hal tersebut telah menjadi
kebiasaan di masyarakat menurut mazhab Hanafiyah adalah boleh.
Fuqaha
Malikiyah membedakan utang piutang yang bersumber dari jual beli dan utang
piutang saja. Dalam hal utang piutang yang bersumber dari jual beli, penambahan
pembayaran yang tidak disyaratkan adalah boleh. Sedangkan dalam hal utang
piutang penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak dijanjikan
karena telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat hukumnya haram. Penambahan
yang tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi kebiasaan masyarakat, baru boleh
diterima.
B. Gadai
(al-Rahn)
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Secara etimologi, gadai (al-rahn) yaitu pemenjaraan.
Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat. Sedangkan
menurut istilah ada beberapa definisi al-rahn yang dikemukakan para
ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan:
Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai
jaminan utang yang bersifat mengikat.
Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan : Menjadikan
sesuatu sebagai jaminan terhadap hak yang mungkin dijadikan sebagai pembayar
hak itu, baik seluruhnya maupun sebagian.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
mendefinisikan : Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang
dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar
utangnya itu.
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam
dengan jaminan adalah firman Allah swt. berikut:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang” (QS. Al-Baqarah: 283)
2. Rukun Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda
memiliki beberapa rukun, antara lain:
a. Lafadz ( ijab dan qabul )
b. Aqid, yaitu yang menggadaikan
(rahin) dan yang menerima gadai (murtahin).
c. Barang yang dijadikan jaminan
(borg), syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak
rusak sebelum janji utang harus dibayar.
d. Ada utang, disyaratkan keadaan utang
telah tetap.
3. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Jumhur ulama fiqh, selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa pemegang
barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu
bukan miliknya secara penuh. Apabila orang yang berutang tidak mampu
melunasinya utangnya, ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk
melunasi piutangnya.
Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan
memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah
membolehkannya, karena dengan adanya izin, tidak ada halangan bagi pemegang
barang jaminan untuk memanfaatkan barang jaminan itu. Akan tetapi, sebagian
ulama Hanafiyah lainnya, Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat, sekalipun
pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh
memanfaatkan barang jaminan itu. Karena, apabila barang jaminan itu dimanfaatkan,
maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syara’, sekalipun
diizinkan pemilik barang. Orang yang memegang barang gadaian boleh mengambil
manfaat barang yang digadaikan hanya sekedar mengganti kerugiannya untuk
menjaga barang itu.
Sabda Rasulullah Saw.
اِذَاارْتُهِنَ شَاةٌ شَرِبَ المُرْتَهِنُ مِنْ لَبَنِهَا بِقَدْرِ عَلْفِهَا
فَاِنِاسْتَفْضَلَ مِنَ اللَبَنِ بَعْدَ ثَمَنِ العَلْفِ فَهُوَ رِبَا
“Apabila seekor kambing
digadaikan, maka yang memegang gadaian itu boleh meminum susunya sekedar
sebanyak makanan yang diberikannya pada kambing itu. Maka jika dilebihkannya
dar sebanyak itu, lebihnya itu menjadi riba.” (Riwayat Hammad bin Salmah)
2.
HIBAH
A. Arti Dan Landasan Hibah
- Pengertian hibah
Dalam Al-Qur’anul Karim
terdapat firman Allah dalam Q.S. Ali Imran ayat 38 yang artinya:
Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, berilah Aku dari sisi Engkau seorang
anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa".
Dan menurut terminology
syari’at Islam:
عَقْدٌ يُقِيْدُ التَّمْلِيْكَ بِلاَ عَوْضٍ حَالَ اَكْيَاةِ تَطَوُّعًا
Artinya:
Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup
dan dilakukan secara sukarela.
Menurut ulama hanabilah
:
تَمْلِيْكُ جَائِزٍ التَّصَرُّفِ مَالًا مَحْلُوْمًا اَوْ مَجْهُوْلاً
تَعَدَّرَ عِلْمِهِ مَوْجُوْدًا مَقْدُوْرًا عَلَى تَسْلِيْمِهِ غَيْرَ وَاجِبٍ
فِى الْحَيَاةِ بِلاَ عَوْضٍ بِمَا يُعَدَّ هِبَّةٌ عُرْفًا مِنْ لَفْظِ هِبَّةٍ
وَتَمْلِيْكٍ وَ نَحْوِهَا
Artinya:
Memberikan kepemilikan atas barang yang dapat ditasharuf-kan berupa harta yang jelas atau tidak jelas
karena adanya uzur untuk mengetahuinya, berwujud, dapat diserahkan tanpa adanya kewajiban, ketika masih hidup,
tanpa adanya pengganti yang dapat
dikategorikan sebagai hibah menurut adat dengan hafazh atau tamlik (menjadikan
milik.
- Landasan hibah
1) Al-Qur’an
Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)
2) As-Sunnah
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ وَ عَبْدُ الله بْنِ عُمَرَ وَ عَائِشَةِ ر.ع. قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ ص.م. تَهَادُوا تَجَابُوْا
Artinya:
Dari Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, dan Siti Aisyah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, saling
memberi hadiahlah kamu semua (maka) kamu akan saling mencintai.
B. Rukun Hibah
Menurut Ulama Hanafiyah
rukun Hibah Ijab dan Qabul. Dalam Khitab “Al-Mabsuth rukun hibah adalah Ijab
and Qabul dan Qadhu (pemegang dan penerima).
Menurut Jumhur Ulama rukun Hibah ada empat:
1. Wahib (pemberi)
2. Mauhub Lah (penerima)
3. Mauhub (barang yang dihibahkan)
4. Shighat (Ijab dan Qabul)
C. Syarat Hibah
Hibah menghendaki
adanya penghibah, orang yang diberi
hibah dan sesuatu yang dihibahkan:
1. Syarat-syarat penghibah
Ø Penghibah memiliki apa yang dihibahkan
Ø Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan
Ø Penghibah itu orang dewasa, berakal dan rasyid
Ø Tanpa ada unsure paksaan
2. Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah
Ø Berhak memiliki dan benar-benar ada di waktu di beri hibah
Ø Memegang hibah atas seizin Wahib
3. Syarat-syarat barang yang dihibahkan
·
Harus ada waktu hibah
·
Berupa harta yang kuat dan bermanfaat
·
Milik sendiri
·
Dapat dimiliki dzatnya
·
Tidak berhubungan
dengan tempat lain/terpisah
D. Hukum (ketetapan) Hibah
- Hukum hibah
Dasar dari ketetapan hibah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi
mauhubnya (penerima hibah) tanpa adanya pengganti
- Sifat hukum Hibah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak
lazim. Dengan demikian, dapat dibatalkan oleh pemberi.
Akan tetapi, dihukumi makruh sebab perbuatan itu terkesan termasuk menghina
si pemberi hibah. Selain itu, yang diberi hibah harus ridha.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah
dipegang tidak boleh dikembalikan, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya
yang masih kecil, jika belum bercampur dengan hak orang lain.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hibah tidak dapat
dikembalikan kecuali pemberian orang tua kepada anaknya.
اَلْعَائِدِ فِى هِبَّتِهِ كَاالْعَائِدِ فِى قَيْئِهِ
Artinya:
Orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang mengembalikan
muntahnya.
E. Pemberian pada anak menjelang meninggal (Athiyah)
Ulama sepakat bahwa bagi orang tua disunahkan menyamakan pemberian kepada anak-anaknya.
Hukumnya makruh melebihkan pemberian kepada salah satu anak saja.
Jumhur ulama
berpendapat:
Bahwa persamaan yang dimaksud adalah menyamakan
pemberian antara anak laki-laki dan perempuan
Ulama Hanabilah dan Muhammad dari golongan Hanafiyah berpendapat:
Bahwa persamaan pemberian orang tua kepada anaknya
berdasarkan ketetapan waris, dengan demikian seorang anak laki-laki mendapat
dua bagian anak peremuan.
3. PERCERAIAN
A.
Pengertian perceraian
Perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut
"talak" atau "furqoh" adapun arti dari talak ialah membuka
ikatan membatalkan perjanjian.
Adapun yang dimaksud dengan putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami istri, yang disebabkan oleh beberapa hal seperti
kematian, perceraian dan lain
lain. Perceraian pasti akan memberikan dampak yang signifikan dalam kehidupan.
B.
Hubungan perceraian
dengan ekonomi
Begitu Anda resmi bercerai, hidup Anda akan dimulai lagi dari awal. Apakah
akan menjadi semakin baik atau semakin buruk, semua tergantung pada niat dan
usaha Anda. Perceraian memang akan berpengaruh pada kondisi emosional dan
keadaan ekonomi keluarga.
Kehidupan ekonomi setelah bercerai dapat menjadi sulit terutama jika saat
menikah dulu, Anda hanya sebagai ibu rumah tangga. Ataupun jika Anda bekerja,
tetap saja pendapatan keluarga menjadi berkurang karena kehilangan satu orang
pencari nafkah. Bantuan keuangan atau tunjangan dari mantan suami mungkin akan
sedikit membantu namun seringkali tidak cukup untuk membiayai kebutuhan Anda
dan anak terutama untuk jangka panjang. Oleh sebab itu, Anda harus bisa
melakukan sesuatu untuk menambah penghasilan keluarga. Anda harus bekerja entah
bekerja sendiri sebagai wiraswasta, bekerja membantu saudara, ataupun bekerja
kantoran. Dengan demikian, kehidupan ekonomi setelah bercerai dapat semakin
membaik dan Anda juga bisa semakin mandiri dan tidak tergantung pada bantuan
mantan pasangan atau keluarga besar.
Perceraian akan mempengaruhi emosi pada pasangan yang bercerai. Kesedihan,
kekecewaan, dan merasa gagal seringkali menjadi emosi dominan pada pasangan
yang bercerai. Segeralah sadari bahwa keputusan bercerai ini adalah keputusan
terbaik yang telah terjadi dalam hidup Anda. Jangan menganggap perceraian hanya
kegagalan semata namun awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik.
Bagaimanapun, Anda dan mantan pasti sudah berpikir masak-masak mempertimbangkan
alasan untuk bercerai. Untuk mengatasi kelabilan emosi pada pasangan yang
bercerai, Anda dapat sering menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan anak
tercinta untuk mengusir rasa sepi, Anda juga bisa melakukan banyak aktifitas di
luar yang bisa membangun sisi positif Anda.
C. Faktor-faktor penyebab perceraian
Faktor penyebab timbul nya perceraian
Ø Kesetian dan Kepercayaan
Didalam hal ini yang sering kali menjadi pasangan
rumah tangga bercerai, dalam hal ini baik pria ataupun wanita sering kali
mengabaikan peranan kesetiaan dan kepercayaan yang diberikan pada tiap
pasangan, hingga timbul sebuah perselingkuhan.
Ø Seks
Didalam melakukan hubungan seks dengan pasangan kerap
kali pasangan mengalami tidak puas dalam bersetubuh dengan pasangannya,
sehingga menimbulkan kejenuhan tiap melakukan hal tersebut, dan tentunya anda
harus mensiasati bagaimana pasangan anda mendapatkan kepuasan setiap melakukan
hubungan seks.
Ø Ekonomi
Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini
memaksa kedua pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,
sehingga seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan
berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki pekerjaan.
Ø Pernikahan Tidak Dilandasi rasa Cinta
Untuk kasus yang satu ini biasanya terjadi karna
faktor tuntutan orang tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan pasangan
yang sudah ditentukan, sehingga setelah menjalani bahtera rumah tangga sering
kali pasangan tersebut tidak mengalami kecocokan.
D. Alasan-alasan perceraian menurut undang-undang
Mengenai alasan
perceraian, UU perkawinan
hanya mengaturnya secara umum yaitu bahwa untuk melakukan perceraian harus
cukup ada alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami istri (pasal 34 ayat 2 UU perkawinan). Di dalam PP No.9 tahun
1975 pasal 14 dinyataka hal-hal yang menyebabkan terjadinya karena alasan-alasan sebagai berikut :
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
c) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
Dilihat dari pasal 116, ada tambahan dua sebab
perceraian dibanding dengan pasal 14 PP 9 tahun 1975 yaitu suami melanggar
taklik talak dan murtad. Tambahan ini relative penting karena sebelumnya tidak
ada.
Alasan-alasan perceraian diatas secara limitatif ( terbatas pada apa yang disebutkan UU saja ) dan
disamping itu harus ada alasan seperti yang disebutkan dalam pasal 39 ayat 2
UUP, maka jelas kepada kita bahwa UU sangat mempersulit terjadinya perceraian.
Apalagi prosedur perceraian itu, haruslah melalui pengadilan yang berwenang dan
sebelum hakim memutuskan perkara perceraian itu dia terlebih dahulu mengadakan
perbagai usaha perdamaian diantara suami istri itu, baik dilakukan sendiri maupun
bantuan pihak lain.
Dengan ketentuan tersebut diatas, maka perceraian
tidak dapat lagi dilakukan sewenang-wenang oleh salah satu pihak suami-istri
dan apabila mereka akan bercerai terlebih dahulu harus diuji dan diperiksa,
apakah perceraian tersebut dapat dibenarkan oleh UU atau tidak.
Ketentuan ini merupakan sebagian dari tuntutan kaum
wanita Indonesia, yang melihat praktek-praktek perceraian sebelum adanya UU
perkawinan. Sedangkan dalam penentuan dalam proses perceraian ini adalah
wewenang dari instansi peradilan. Oleh karena itu, diharapkan agar hakim dapat memikul tanggung jawab yang
besar dengan kesadaran tinggi akan jiwa dan tujuan yang diatur dalam UU
perkawinan serta harapan masyarakat pada umumnya.
E. Tata cara untuk mengajukan gugat cerai
Pasal 40 Undang-Undang Perkawinan ( UU No.
1/1974),yaitu dalam ayat-ayatnya sebagai berikut.
1. Gugatanperceraian diajukan kepada pengadilan
2. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan
perundangan tersendiri.
Pengaturan tentang Tata cara Perceraian
selanjutnya terdapat dalam
1. Bab V dimulai dari Pasal 14 hingga Pasal 36 PP No. 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Menurut Pasal 14 PP No. 9 tahun 1975 tersebut, seorang suami yang telah
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya,
mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai
alasanalasannya, serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk
keperluan itu. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat tersebut dan dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga
isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan maksud perceraian tersebut
3. Pasal 16 PP tersebut mengatur bahwa
pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk
menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan yang tepat dan
Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak
mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga (Pasal 16).
Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud maka
Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian
tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada pegawai Pencatat di tempat
perceraian itu terjadi utuk diadakan pencatatan perceraian (Pasal 17).
Perceraian tak hanya berdampak pada pasangan suami istri
(pasutri), perceraian juga berdampak buruk pada si buah hati. Bukan hanya hak
asuh yang menjadi permasalahan, faktor psikologis anak juga harus
dipertimbangkan. Banyak masalah yang akan dihadapi anak pascaperceraian.
Perceraian dapat menimbulkan dampak serius karena adanya perubahan kondisi
finansial, tempat tinggal, dan hilangnya kontak dengan orang tua kandung akan
berpengaruh pada sumber daya ekonomi dan sosial.
Menurut beberapa ahli bahwa permasalahan yang paling penting adalah bahwa
anak tidak lagi tinggal dengan kedua orang tua kandungnya. Hal ini akan berpotensi
menimbulkan banyak masalah baru dalam kelanjutannya.
Biasanya anak paling tidak siap dengan perpisahan orang tua. Malah banyak
anak yang depresi gara-gara perceraian. Ujungnya, anak menjadi terlalu
emosional dan akan melakukan hal-hal untuk menarik perhatian. Biasanya mereka
mulai melakukan hal-hal buruk seperti merokok, salah gaul, hingga kecanduan
narkoba. Itu adalah beberapa bentuk pelarian yang negatif. Dalam kasus perceraian,
anak juga akan mengalami dilema antara memilih ibu atau ayahnya. Bisa saja saat
mereka bersama ayah, yang terpikir justru kebersamaan tersebut akan menyakiti
perasaan ibunya. Atau mungkin timbul pertanyaan bagaimana jika mereka hanya
menyayangi salah satu orang tuanya. Selain itu ada beberapa hal yang merupakan dampak perceraian pada anak, yakni:
·
Tingkat kepercayaan seorang anak kepada orang
tuanya akan bergeser dan berubah. Ibarat
piring yang sudah pecah, maka jiwa seorang anak tak akan utuh seperti semula.
·
Paradigma si anak terhadap esensi sebuah
kebenaran yang hakiki akan berubah. Dia akan apatis dan apriori terhadap
khotbah dan wejangan, dan menganggapnya sebagai kemunafikan orang dewasa.
·
Tingkat konsentrasi seorang anak dalam segala
hal termasuk dalam hal belajar, akan kabur dan ngambang.
·
Rasa hormat seorang anak kepada orang tuanya
yang sudah dianggap panutan baginya akan luntur secara perlahan.
·
Rasa
percaya diri si anak akan hilang, sedangkan sikap skeptis dan ragu semakin
besar.
Sebenarnya masih banyak efek perceraian pada anak seperti jiwanya kehilangan kendali, sehingga
mudah terpengaruh oleh arus zaman yang negatif seperti pergaulan bebas, budak
narkoba, menjadi pengikut aliran sesat, dsb. Semua pihak berkewajiban mengantisipasi
dampak perceraian pada anak dengan cara merangkul mereka dengan siraman rohani
yang menyejukkan.
4. MUDHARABAH ( Kerjasama
Bagi Hasil )
A. Pengertian
Salah satu bentuk kerjasama anatara pemilik modal
dengan seseorang, yang pakar dalam berdagang, di dalam fiqh islam disebut
dengan mudharobah, yang oleh ulama
fiqh Hijaz menyebutnya dengan qiradh.
Secara termonologi, para ulama fiqh mendefinisikan mudharobah atau qiradh
dengan:
أﻥ يد فع ا لما لك إلى العا مل ما لا يتجر فيه و
يكو ن الر بح مشتر كا
Artinya
Pemilik modal
menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan
keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan
bersama.
Apabila terjadi
kerugian dalam perdagangan itu, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik
modal. Definisinya ini menunjukan bahwa yang diserahkan kepada pekerja (pakar
dagang) itu adalah berbentuk modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah.
B. Hukum Mudharobah dan dasar hukumnya
Akad mudharobah dibolehkan dalam islam,
karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang
pakar dalam memutarkan uang. Banyak di antara pemilik modal yang tidak pakar
dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar
di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar
saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk
saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam
mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Alasan yang dikemukakan
para ulama fiqh tentang keboleh-an bentuk kerja sama ini adalah firman Allah
dalam surat al-Muzzammil, 73: 20 yang berbunyi:
...و
ا خر و ن يضر بو ن فى ا لأ ر ض يبتغو ن من فضل ا لله
…dan sebagian mereka berjalan di buki
mencari karunia Allah…
Dan surat al-Baqarah,
2: 198 berikut:
ليس عليكم جنا ح أ ن
تبتغوا فضلا من ربكم ...
Tidak ada dosa bagimu
untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…
Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan
akad mudharabah, yang secara bekerja sama mencari rezeki yang ditebarkan Allah
di atas bumi. Kemudian sabda Rasulullah SAW dijumpai sebuah riwayat dalam kasus
mudharabah yang dilakukan oleh ‘Abbas
ibn ‘Abd al-Muthalib yang artinya:
“Tuhan kami ‘Abbas ibn ‘Abd
al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang pakar dalam
perdagangan) melalui akad mudharobah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu
jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan
tidak boleh diberikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan.
Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi.
Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib ini sampai kepada
Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya”. (HR ath-Thabrani).
C. Rukun dan Syarat mudharabah
Terdapat perbedaan
pandangan ulama Hanafiyah jumhur ulama dalam menetapkan rukun akad mudharabah.
Ulama Hanafiyah, menyatakan bahwa rukun
mudharabah adalah ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama
ada tiga, yaitu :
1. Orang yang berakad ( shahibul maal dan
pengelola )
2. Modal, pekerjaan, dan keuntungan
3. Shigat
( ijab qabul)
Adapun syarat – syarat mudharabah,
sesuai dengan rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:
a. Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang mengerti
hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang
akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat –
syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
b. Yang terkait dengan modal, disyaratkan: (1)berbentuk uang, (2)jelas
jumlahnya, (3)tunai, (4)diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal.
Oleh sebab itu, jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak
dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian halnya juga
dengan utang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal
itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal
mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal,
dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan
Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanabilah menyatakan
boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak
menganggu kelancaran usaha itu.
c. Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan
harus jelas dan bagian masing – masing diambilkan dari keuntungan dagang itu,
seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Aqpabila pembagian keuntungan
tidak jelas, menurut ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak). Demikian juga
halnya apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama,
menurut ulama Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan kerugiaan tetap
ditanggung sendiri oleh pemilik modal.
Atas dasar syarat –
syarat di atas, ulama Hanafiyah membagi bentukbakad mudharabah kepada dua
bentuk, yaitu mudharabah shahihah ( mudharabah yang sah ) dan mudharabah
fasidah ( mudharabah yang rusak ). Jika mudharabah yang dilakukan itu jatuh
kepada fasid, menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, pekerja hanya
berhak menerima upah kerja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pedagang
di daerah itu, sedangkan seluruh keuntungan menjadi milik pemilik modal. Ulama
Malikiyah menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja tetap
seperti dalam mudharabah shahihah, dalam artian bahwa ia tetap mendapatkan
bagian keuntungan.
D. Macam-macam Mudharabah
Dilihat dari segi
transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja, para ulama fikih membagi
akad mudharabah kepada dua bentuk,
yaitu mudharabah muthlaqah
(penyerahan modal secara mutlak, tanpa syarat dan batasan) dan mudharabah muqqayadah (penyerahan modal
dengan syarat dan batasan tertentu). Dalam mudharabah muthlaqah, pekerja diberi
kebebasan untuk mengelola modal itu selama profitable.
Sedangkan, dalam mudharabah muqayyadah,
pekerja mengikuti ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pemilik modal.
Misalnya, pemberi modal menentukan barang dagangan, lokasi bisnis dan
suppliernya.
Jika suatu akad
mudharabah telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka mempunyai akibat sebagai
berikut :
1. Modal ditangan pekerja berstatus amanah, dan posisinya sama dengan posisi
seorang wakil dalam jual beli. Pekerja berhak atas bagian keuntungan yang
dihasilkan.
2. Apabila akad ini berbentuk mudharabah muthlaqah, pekerja bebas mengelola
modal selama profitable.
- Jika kerja sama itu menghasilkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan keuntungan an modalnya, tetapi jika tidak menghasilkan keuntungan, pemilik modal tidak mendapatkan apa-apa.
5.
IJARAH
a. Pengertian
Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan
hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran
sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir)
dengan penyewa (musta’jir) tanpa didikuti pengalihan kepemilikan barang
itu sendiri.
Ijarah adalah
akad antara bank (mu’ajjir) dengan nasabah (mutta’jir) untuk
menyewa suatu barang/objek sewa milik bank dan bank mendapat imbalan jasa atas
barang yang disewanya, dan diakhiri dengan pembelian obyek sewa oleh nasabah.
Landasan syariah akad ini adalah fatwa DSN-MUI No.09
/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah.
Dasar Hukum Ijarah
a. Al- Qur’an
Dalam surat al-baqarah
yang artinya:
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS.al-Baqarah:233)
b. Al-Hadits
“Berikanlah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat
mereka”.(HR. Abu Ya’la, Ibnu Majah, at-Thabrani dan Tirmidzi)
Rukun Ijarah
1. Mu’jar(orang/barang yang disewa)
2. Musta’jir (orang yang menyewa)
3. Sighat (ijab dan qabul)
4. Upah dan manfaat
Syarat Ijarah
·
Kedua orang yang
berakad harus baligh dan berakal
·
Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad
ijarah
·
Manfaat yang menjadi objek ijarah harus
diketahui secara sempurna
·
Objek ijarah boleh
diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat
·
Objek ijarah sesuatu
yang dihalalkan oleh syara’ dan merupakan sesuatu yang bisa disewakan
·
Yang disewakan itu
bukan suatu kewajiban bagi penyewa
·
Upah/sewa dalam akad
harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
Fitur dan Mekanisme
a) Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), yaitu
memperoleh pembayaran sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir);dan
mengakhiri akad Ijarah dan menarik objek Ijarah apabila penyewa tidak mampu
membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.
b) Kewajiban perusahaan pembiayaan
sebagai pemberi sewa antara lain, yaitu:
§ Menyediakan objek ijarah yang disewakan;
§ Menanggung biaya pemeliharaan objek ijarah;
§ Menjamin objek ijarah yang disewakan tidak terdapat cacat dan dapat
berfungsi dengan baik.
c) Hak penyewa (musta’jir), antara lain meliputi:
§ Menerima objek ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan;
§ Menggunakan objek ijarah yang disewakan sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan.
d) Kewajiban penyewa antara lain meliputi:
Membayar sewa dan
biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan;
Mengembalikan objek
iajrah apabila tidak mampu membayar sewa;
Menjaga dan menggunakan
objek ijarah sesuai yang diperjanjikan;
Tidak menyewakan
kembali dan/atau memindahtangankan objek ijarah kepada pihak lain.
Objek Ijarah
Objek ijarah adalah
berupa barang modal yang memenuhi ketentuan, antara lain:
1. Objek ijarah merupakan milik dan/atau dalam penguasaan perusahaan
pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);
2. Manfaat objek ijarah harus dapat dinilai;
3. Manfaat objek ijarah harus dapat diserahkan penyewa (musta’jir);
4. Pemanfaatan objek ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syariah
(tidak diharamkan);
5. Manfaat objek ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas;
6. Spesifikasi objek ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui
identifikasi fisik, kelayakan, dan jangka waktu pemanfaatannya
Sifat dan Hukum Akad Ijarah
Para ulama Fiqh berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat
mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad
ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila
terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti contohnya salah satu
pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Apabila salah seorang
yang berakad meninggal dunia, akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh
diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat
mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Apabila
seorang yang berakad meninggal dunia, manfaat dari akad ijarah boleh diwariskan
karena termasuk harta dan kematian salah seorang pihak yang berakad tidak
membatalkan akad ijarah.
Berakhirnya Akad Ijarah
1. Objek hilang atau musnah,
2. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir,
3. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya seorang yang berakad.
4. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak seperti
rumah yang disewakan disita Negara karena terkait utang yang banyak, maka akad
ijarah batal. Akan tetapi, menurut jumhur ulama uzur yang boleh membatalkan
akad ijarah hanyalah apabila obyeknya cacat atau manfaat yang dituju dalam akad
itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.
Aplikasi Ijarah di
Lembaga Keuangan Syariah
Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk ijarah,
dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operting lease maupun financial
lease. Akan tetapi, pada umumnya bank-bank tersebut lebih banyak
menggunakan Ijarah Muntahiya bit-Tamlik, karena lebih sederhana dari
sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus
pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
6.
PERNINGKAHAN
Dalam pandangan islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah,
ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Dengan melihat kepada hakekat
perkawinan itu merupakan akad yang memperbolehkan laki-laki dan perempuan
melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa
hukum asal dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah.
Agar akad nikah dapat terlaksana, ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi.
Rukun nikah adalah :
Ø Calon Suami Istri
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak
boleh lain dari itu, seperti sesama
laki-laki atau sesama perempuan.
a.
Bukan mahram dari calon
istri
b.
Tidak terpaksa, tetapi
atas kemauan sendiri
c.
Orangnya tertentu
(jelas identitasnya dan dapat di bedakan dengan yang lainnya, baik yang
menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan dan hal lainnya yang berkenaan
dengan dirinya).
d.
Tidak sedang
menjalankan ibadah ihram (haji).
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi perempuan yang akan kawin
adalah :
a.
Tidak ada halangan
syari’ah, seperti bukan mahram, tidak iddah, tidak bersuami.
b.
Merdeka, atas kemauan
sendiri
c.
Jelas orangnya
d.
Tidak sedang
menjalankan ibadah ihram (haji)
Ø Wali
Yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak
atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan seorang wali
dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang
tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditetapkan sebagai rukun dalam perkawinan
menurut kesepakatan ulama secara prinsip.
Dalam akad perkawinan itu sendiri
wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dan dapat pula sebagai oarng yang diminta persetujuannya untuk
kelangsungan perkawinan tersebut.
Adapun orang-orang yang berhak menempati kedudukan wali itu ada tiga
kelompok:
1.
Wali nasab, yaitu wali
berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan kawin.
2.
Wali mu’thiq, yaitu
orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya yang
dimerdekakan.
3.
Wali hakim, yaitu orang
yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.
Dalam menetapkan wali
nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan
oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak
membicarakan sama sekali siapa-siapa yangberhak menjadi wali. Jumhur ulama
membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada
kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan
dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah
dan kakek, juga selain dari anak dan cucu.
Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
·
Saudara laki-laki
kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
·
Saudara laki-laki
seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
·
Anak saudara laki-laki
kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
·
Anak saudara laki-laki
seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
·
Paman kandung, kalau
tidak ada pindah kepada.
·
Paman seayah, kalau
tidak ada pindah kepada.
·
Anak paman kandung,
kalau tidak ada pindah kepada.
·
Anak paman seayah,
·
Ahli waris kerabat
lainya kalau ada.
Orang-orang yang berhak menempati kedudukan wali itu
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
Ø Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang
gila tidak berhak menjadi wali.
Ø Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
Ø Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk
muslim.
Ø Orang merdeka.
Ø Tidak berada dalam pengampunan atau mahjur alaih. Alasanya ialah bahwa
orang yang berada di bawah pengampunan tidak dapat berbuat hukum dengan
sendirinya. Kedudukanya sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum.
Ø Tidak sedang melakukan ihram.
Ø Berpikiran baik. Oarang yang terganggu pikiranya karena ketuaannya tidak
boleh menjadi wali, karena dikawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam
perkawinan tersebut.
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam
arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan
selama wali nasab yang lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak
dapat menjadi wali.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qaarib. Bila
wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka,
berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut
urutan di atas.
Ø Saksi
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian
hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad
di belakang hari.
Saksi dalam pernikahan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Saksi harus berjumlah
paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama.
b.
Kedua saksi itu beragama islam.
c.
Kedua orang saksi
adalah orang yang merdeka.
d.
Kedua saksi itu adalah
orang laki-laki.
e.
Kedua saksi itu
bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu
melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah (sopan sntun).
f.
Kedua saksi itu dapat
mendengar dan melihat.
Ø Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan
dari pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul sebagai rukun perkawinan. Untuk
sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat. Di antara syarat yang telah disepakati
oleh ulama adalah sebagai berikut :
1.
Akad harus dimulai
dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak
perempuan kepada pihak laki-laki. Seperti ucapan wali pengantin perempuan:
“saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab
Al-quran”. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki. Seperti ucapan
mempelai laki-laki: “saya terima nikahnya anak bapak yang bernama si A dengan
mahar sebuah kitab Al-quran.
2.
Materi dari ijab dan
qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk
mahar yang disebutkan.
3.
Ijab dan qabul harus
diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
4.
Ijab dan qabul tidak
boleh menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan,
karena perkawinan ditujukan untuk selama hidup.
5.
Ijab dan qabul harus
menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Tidak boleh menggunakan ucapan
sindiran, karena untuk penggunaan lafaz sindiran itu diperlukan niat, sedangkan
saksi yang hadir dalam perkawinan itu tidak akan dapat mengetahui apa yang
diniatkan oleh seseorang.
7. FAROID
A. Wasiat
Wasiat adalah pesan
tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia.
Hukum wasiat adalah sunat. Sesudah Allah menerangkan beberapa ketentuan dalam
pembagian harta pusaka, diterangkan bahwa pembagian harta pusaka tersebut
hendaknya dijalankan.
Rukun wasiat itu ada 4:
1. Ada orang yang berwasiat
2. Ada yang menerima wasiat
3. Sesuatu yang diwasiatkan
4. Lafad (kalimat) wasiat.
Sebanyak-banyaknya
wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih kecuali apabila di
izinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat meninggal. Sabda
Nabi saw:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: اَنَّ النَّاسُ غَضُّوْا مِنَ الغُّلُثِ اِلىَ
الرُّبُعِ فَاِنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الثُّلُثِ
كَشِيْرٌ (روه البخارء و مسلم)
“Dari Ibnu Abbas, Ia
berkata: alangkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat mereka dari sepertiga
keseperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah saw telah besabdawasiat itu
sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Wasiat hanya ditujuakn
kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah
kecuali apabila diridhakan oleh semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya
yang berwasiat. Sabda Rasulullah saw:
عن ابى امامة قال سمعت النبى صلى الله عليه وسلم يقول ان الله قد اعطى كل ذى
عق حقة فلا وصية لوارث (روه الخمسة الا النسائى)
“Dari Abu Amanah,
saya telah mendengar Nabi saw bersabda: sesungguhnya Allah telah menentukan hak
tiap-tiap ahli waris, maka dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat lagi bagi
seorang ahli waris”. (HR. 5 orang ahli hadits, kecuali Nasai)
Hendaknya pada waktu
berwasiat disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang yang adil. Wasiat diatas
adalah wasiat yang berkenaan dengan harta. Adapula wasiat yang berkaitan dengan
hak kekuasaan (tanggung jawab) yang akan dijalankan setelah ia meninggal dunia.
Syarat orang yang
diserahi menjalankan wasiat yang terakhir ini ialah:
a) Beragama Islam
b) Sudah baligh
c) Orang merdeka
d) Amanah
e) Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang dikehendaki oleh yang berwasiat.
A. Shadaqah
Shadaqah yaitu
pemberian sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain dengan tidak mengharapkan
balasan dari orang yang menerimanya kecuali mengharapkan pahala dari Allah[16], hukum
shadaqah ialah sunat. Hal ini sesuai dengan Firman Allah yang artinya:
“Dan bersedekahlah kepada Kami,
sesungguhnya Allah memberikan balasan kepada orang yang bersedekah”. (QS.
Yusuf: 88)
Rukun dan syarat shadaqah
ada 4, yaitu:
1. Ada yang memberi, syaratnya ialah orang yang berhak memperedarkan hartanya
dan memiliki barang yang diberikan
2. Ada yang diberi, syaratnya yaitu berhak memiliki
3. Ada ijab qabul
4. Ada barang yang diberikan, dengan syarat hendaknya barang itu dapat dijual.
B. Wakaf
Wakaf adalah suatu kata
berasal dari bahasa arab, yaitu wakaf artinya menahan, menghentikan atau
mengekang. Menurut istilah menghentikan (menahan) perpindahan milik sesuatu
harta yang bermanfaat dan tahan lama sehingga menfaat harta itu digunakan untuk
mencari keridhaan Allah.
Rukun wakaf ada 4,
yaitu:
1. Yang berwakaf
2. Sesuatu yang diwakafkan
3. Tempat berwakaf
4. Lafad berwakaf
Syarat wakaf ada 3,
yakni:
1. Selama-lamanya
2. Tunai dan tidak ada khiyar syarat
3. Hendaknya jelas kepada siapa diwakafkan.
C. Hibah dan Hadiah
Kata hibah berasal dari
bahasa arab yang artinya kebaikan atau keutamaan yang diberikan oleh suatu
pihak kepada pihak lain baik berupa harta.
Rukun dan syarat hibah
ada 4, yaitu:
1. Shighat hibat, ialah kata-kata yang diucapkan oleh orang-orang yang
melakukan hibah.
2. Penghibah, ialah orang yang memberikan sesuatu atau harta kepada orang
lain.
3. Penerima hibah
4. Barang hibah.
Hadiah adalah pemberian
dengan tujuan untuk menghormati orang yang diberi disamping untuk mendapatkan
ganjaran dari Allah.
Rukun
hadiah ada 4, yaitu:
1. Yang memberi
2. Yang diberi
3. Barang yang diberikan
4. Ijab qabul
Barang yang dihibahkan
atau yang dihadiahkan itu tetap tidak boleh diambil lagi bila telah diterima,
dipegang oleh orang yang diberinya dan bis terus menjadi hak miliknya.
8.
THAHARAH
(Bersuci)
(Bersuci)
A. Arti
Thaharah
Thaharah berdasarkan arti harfiah berarti bersih dan suci,
sedangkan berdasarkan pengertian syara`, thaharah berarti mensucikan diri,
pakaian dan tempat dari hadats dan najis, khususnya pada saat kita hendak shalat.
Lebih jauh lagi, thaharah berarti mensucikan diri dan hati. Taharah hukumnya
wajib bagi setiap mukmin. Allah SAW berfirman yang artinya:
“hai orang yang berselimut bangunlah kemudian berilah peringatan
dan anggungkanlah tuhanmu dan bersihkanlah pakaianmu.” (QS Al-Mudatstsir:1-4).
B.
Macam-macam
air
Air yang dapat
dipakai bersuci ialah air yang bersih (sici dan mensicikan) yaitu air yang
keluar dari langit atau keluar dari bumi yang belum dipakai untuk bersuci. Air
yang suci dan mensucikan ialah:L
1.
Air
hujn
2.
Air
sumur
3.
Air
laut
4.
Air
sungai
5.
Air
salju
6.
Air
telaga
7.
Air
embun
C.
Pembagian
air
Dirinjau dari segi hukumnya, air itu dapat dibagi menjadi empat
bagian:
1.
Air
suci dan mensucikan, yaitu air mutlak artinya air yang masih murni dapat
digunakan untuk bersuci dengan tidak makruh.
2.
Air
suci dan k dapat mensucikan. Tetapi makruh digunakan, yaitu air musyammas di
tempat logam yng bukn emas.
3.
Air
suci tetapi tidak dapat mensucikan, seperti air musta’mal menghilangkan hadast,
atau menghilangkan hadis kalau tidak berubah rupanya, rasanya dan baunya.
4.
Air
mutanajis, yaitu ait yang kena najis (kemasukan najis), sedang jumlahnya kurang
dari dua kullah, maka air yang semcam ini tidak suci dan tidak dapat
mensucikan.
Jika lebih dari dua kullah dan tidak berubah sifatnya, maka sah untuk bersuci.
Dua kullah sama dengan 216 liter, jika berbentuk bak, maka besarnya = panjang 60 cm dan dalam/tinggi 60 cm.
Jika lebih dari dua kullah dan tidak berubah sifatnya, maka sah untuk bersuci.
Dua kullah sama dengan 216 liter, jika berbentuk bak, maka besarnya = panjang 60 cm dan dalam/tinggi 60 cm.
D.
Macam-macam
najis
Najis ialah suatu benda yang kotor menurut syara’, misalnya:
1.
Bangkai,
kecuali manusia, ikan dan belalang.
2.
Darah
3.
Nanah
4.
Sesuatu
yang keluar dari kubul dan dubur
5.
Anjing
dan babi
6.
Minuman
keras
7.
Bagian
anggota badb binatang yang terpisah karena di[otong dan sebagainya selagi masih
hidup.
E.
Pembagian
najis
Najis iti dapat dibagi menjadi 3 bagian:
1.
Najis
Mukhaffafah (ringan) : ialah air kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2
tahun dan belum pernah makan sesuatu kecuali air susu ibunya.
2.
Najis
mughallazhah (berat) ialah najis anjing dan babi dan keturunannya.
3.
Najis Mutawassithah (sedang) :
ialah najis yang selain dari dua najis tersebut diatas, seperti segala sesuatu
yang keluar dari kubul dan dubur manusia dan binatang, kecuali air mani, barang
cair yang memabukkan, susu hewan yang tidak halal dimakan, bangkai, juga tulang
dan bulunya, kecuali bangkai-bangkai manusia dan ikan serta belalang.
F.
Cara
menghilangkan najis
1.
Barang
yang kena najis mughallazhah seperti jilatan anjing atau babi, wajib dibasuh 7
kali dan salah satu diantaranya dengan air yang bercampur tanah.
2.
Barang yang terkena najis
mukhaffafah, cukup diperciki air pada tempat najis itu.
3.
Barang yang terkena najis
mutawassithah dapat suci dengan cara di basuh sekali, asal sifat-sifat najisnya
(warna, bau dan rasanya) itu hilang. Adapun dengan cara tiga kali cucian atau
siraman lebih baik.
Jika najis hukmiyah cara menghilangkannya cukup dengan mengalirkan air saja pada najis tadi.
Jika najis hukmiyah cara menghilangkannya cukup dengan mengalirkan air saja pada najis tadi.
4.
Najis yang dimanfaatkan (Ma’fu).
Najis yang dimanfaatkan artinya tak usah dibasuh/dicuci, misalnya najis bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya, darah atau nanah yang sedikit, debu dan air lorong-lorong yang memercik sedikit yang sukar menghindarkannya.
Adapun tikus atau cecak yang jatuh ke dalam minyak atau makanan yang beku, dan ia mati di dalamnya, maka makanan yang wajib dibuang itu atau minyak yang wajib dibuang itu, ialah makananatau minyak yang dikenainya itu saja. Sedang yang lain boleh dipakai kembali. Bila minyak atau makanan yang dihinggapinya itu cair, maka semua makanan atau minyak itu hukumnya najis. Karena yang demikian itu tidak dapat dibedakan mana yang kena najis dan mana yang tidak.
Najis yang dimanfaatkan artinya tak usah dibasuh/dicuci, misalnya najis bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya, darah atau nanah yang sedikit, debu dan air lorong-lorong yang memercik sedikit yang sukar menghindarkannya.
Adapun tikus atau cecak yang jatuh ke dalam minyak atau makanan yang beku, dan ia mati di dalamnya, maka makanan yang wajib dibuang itu atau minyak yang wajib dibuang itu, ialah makananatau minyak yang dikenainya itu saja. Sedang yang lain boleh dipakai kembali. Bila minyak atau makanan yang dihinggapinya itu cair, maka semua makanan atau minyak itu hukumnya najis. Karena yang demikian itu tidak dapat dibedakan mana yang kena najis dan mana yang tidak.
G. Istinja’
Segala yang
keluar dari qubul dan dubur seperti kencing dan berak, wajib disucikan dengan
air hingga bersih.
H. Adap buang air
1.
Jangan ditempat yang terbuka
2.
Jangan ditempat yang dapat
menganggu orang lain
3.
Jangan bercakap-cakap kecuali
dalam keadaan yang memaksa
4.
Kalau terpaksa buang air di tempat
terbuka, hendaknya jangan menghadap kiblat.
5.
Jangan membawa dan membaca kalimat
al-quran
I.
Berwudhu
Wudlu’
menurut bahasa artinya bersih dan indah, sedang menurut syara’ artinya
membersihkan anggota wudlu’ untuk menghilangkan hadats kecil.
Orang yang hendak melaksanakan shalat, wajib lebih dahulu berwudlu’, karena wudlu’ adalah menjadi syarat sahnya shalat.
Orang yang hendak melaksanakan shalat, wajib lebih dahulu berwudlu’, karena wudlu’ adalah menjadi syarat sahnya shalat.
Ø Fardu wudhu
1. Niat ketika membasuh muka
2. Membasuh seluruh muka (mulai dari tumbuhnya rambut kepala hingga
bawah dagu, dan telinga kanan hingga telinga kiri)
3. Membasuk telinga kanan hingga siku-siku
4. Mengusap sebagian kepala
5. Membasuh kedua belah kaki sampai mata kaki
6. Tertib.
Ø Syarat-syarat wudhu
1.
Islam
2.
Tamyiz
3.
Tidak berhadas besar
4.
Dengan air sucu lgi mensucikan
5.
Tidak ada sesuatu yang menghalangi
air, sampai keanggota wudhu
6.
Mengetahui mana yang wajib dan
mana yang sunah
Ø Sunat-sunat wudhu
1. Membaca basmalah pada permulaan wudhu
2. Membasuh kedua belah tangan hingga pergelangan
3. Bekumur-kumur
4. Membasuh lubang hidung sebelum berniat
5. Menyapu seluruh kepala dengan air
6. Mendahulukan anggota kanan dari pada kiri
7. Menyapu kedua telinga luar dan dalam
8. Menigakalikan membasuh
9. Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki
Ø Yang membatalkan wudhu
1.
Keluar sesuatu daru qubul dan
dubur, misalnya buang air kecil maupun besar atau keluar angin dan sebagainya.
2.
Hilang akal sebab gila, pingsan,
mabuk dan tidur nyenyak
3.
Tersentuh kulit antara laki-laki
dan perempuan yang bukan muhrimnya dengan tidak memakai tutup, (muhrim artinya
keluarga yang tidak boleh dinikah).
4.
Tersentuh kemaluan (qubul atau
dubur) dengan tapak tangan atau jari-jarinya yang tidak memakai tutup (walaupun
kemaluannya sendiri)
J.
Mandi/ wajib mandi
Shalat
sebagaimana kita ketahui, sahnya juga suci dari hadats besar. Cara
menghilangkan hadats besar dengan mandi wajib, yaitu membasuh seluruh tubuh
mulai dari puncak kepala hingga ujung kaki.
Sebab-sebab
yang membatalkan mandi:
1.
Bertemunya dua khitan (bersetubuh)
2.
Keluar mani disebabkan bersetubuh
3.
Mati
4.
Karena selesai nifas (bersalin;
setelah selesai berhentinya keluar darah sesudah melahirkan)
5.
Karena wiladah
6.
Karena selesai haid
·
Fardu mandi
1.
Niat, berbareng dengan mula-mula
membasuh muka
·
Sunah mandi
1.
Mendahulukan membasuh segala
kotoran dan najis dari seluruh badan
2.
Membaca
“Bismillahirrahmaanirrahiim” pada permulaan mandi
3.
Menghadap kiblat sewaktu mandi dan
mendahulukan bagian kanan daripada kiri
4.
Membasuh badan sampai tiga kali
5.
Membaca do’a sebagaimana membaca do’a
sesudah berwudlu’
6.
Mendahulukan mengambil air wudlu’,
yakni sebelum mandi disunnatkan berwudlu’ lebih dahulu.
K. Tayamum
·
Arti tayamum
·
Tayammum ialah mengusap
muka dan dua belah tangan dengan debu yang suci. Pada suatu ketika tayammum itu
dapat menggantikan wudlu dan mandi dengan syarat-syarat tertentu.
·
Syarat-syarat tayamum
a)
Tidak ada air dan telah berusaha
mencarinya, tetapi tidak bertemu.
b)
Berhalangan menggunakan air,
misalnya karena sakit yang apabila menggunakan air akan kambuh sakitnya.
c)
Telah masuk waktu sholat
d) Dengan debu yang suci
·
Fardu tayamum
a)
Niat
b)
Mengusap muka dengan debu tanah,
dengan dua kali usapan
c)
Mengusap dua belah tangan hingga
siku-siku dengan debu tanah dua kali
d)
Memindahkan debu kepada anggota
yang diusapkan
e)
Tertib (berturut-turut).
·
Cara mengunakan tayamum
·
Sekali bertayammum hanya
dapat dipakai untuk satu shalat fardlu saja, meskipun belum batal. Adapun untuk
dipakai shalat sunnat beberapa kali cukuplah dengan satu tayammum.
Bagi orang yang salah satu anggota wudlu’nya berbebat (dibalut), maka cukup bebat itu saja diusap dengan air atau tayammum, kemudian mengerjakan shalat.
Bagi orang yang salah satu anggota wudlu’nya berbebat (dibalut), maka cukup bebat itu saja diusap dengan air atau tayammum, kemudian mengerjakan shalat.
9.
WADI’AH
A.
Pengertian
wadi’ah
Titipan (Wadi’ah) artinya barang
yang diserahkan (diamanahkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga
baik-baik. Jadi barang titipan itu, berarti barang amanah yang harus
dikembalikan kepada orang yang memilikinya, bila ia datang meminta.
Ada dua definisi wadi’ah yang
dikemukakan ulama fiqih.
Ulama madzhab hanafi mendenifisikan:
تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو
دلالة
“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan
ungkapan yang jelas maupun melalui isyarat”
Sedangkan madzhab syafi’i, maliki dan hanbali (jumhur uluma)
nmendefinisikan:
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
”mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan
cara tertentu”.[2]
Penitipan barang dalam konteks KUHP
perdata terjadi apabila seorang menerima suatu barang dari orang lain, dengan
syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya.
Menurut sayid sabiq penitipan barang adalah merupakan amanah yang
harus dijaga oleh penerima titipan, dan ia berkewajiban pula untuk memelihara
serta mengembalikannya pada saat
dikehendaki atau diminta oleh pemilik, jadi merupakan perjanjian rill.
Penjelasan pasal 19 ayat (1) huruf a
undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah menyebutkan bahwa
yang dimaksud “akah wadi’ah” adalah akad penitipan barang atau uang antara
pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan
tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.
B.
Dasar
hukum wadi’ah
Dasar hukum mengenai penitipan ada
dalam ketentuan Al-qur’an surat al-baqoroh ayat 283:
“jika sebagian kalu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah tuhannya”.
Sedangkan dalam Hadist dikemukakan bahwa: dari abu hurairah, nabi
besar SAW telah bersabda:
“bayarkanlah (kembalikan) petaruh (barang titipan) itu kepada
yang mempercayai engkau, dan janganlah sekali-kali engkau khianat meskipun
terhadap orang yang telah khianat kepadaku”
Jadi perjanjian penitipan hukumnya ialah jaiz atau boleh. Namun
demikian hukum derivatifnya bisa bermacam-macam, yaitu:
a.
Sunat,
apabila pihak penerima titipan berkeyakinan bahwa dirinya sanggup atau mampu
untuk menjaga barang titipan sebagaimana mestinya.
b.
Haram,
apabila si penerima titipan tidak mampu untuk menjaga barang titipan
sebagaimana mestinya.
c.
Makruh,
apabila si penerima merasa mampu untuk menjaga barang titipan itu, akan tetapi
dai merasa was-was apakah nantinya dia dapat berlaku amanah terhadap barang
titipan yang diamanahkan kepadanya.
C.
Rukun
wadi’ah
Rukun merupakan sesuatu yang mutlak
harus ada dalam sebuah akad, sehingga jika ada salah satu rukun yang tidak dipenuhi
, maka akad batal demi hukum dan padanya tidak mempunyai kekuatan mengingat
secara hukum. Rukun dibedakan menjadi tiga macam, yaitu rukun menyangkut
objeknya, rukun menyangkut subjeknya, dan rukun menyangkut lafaznya.
a.
Menyangkut
objeknya
Objek
yang dititipkan, haruslah merupakan
barang yang dimiliki secara sah oleh sipenitip.
b.
Menyangkut
subjeknya
Kedua
belah pihak harus telah sama-sama dewasa, mempunyai kapasitas untuk melakukan
perbuatan hukum.
c.
Harus
ada lafaz, artinya penitipan barang harus diucapkan yaitu adanya penyerahan
dari penitip dan ucapan penerimaan dari pihak penerima titipan.
D.
Syarat-syarat
wadi’ah
1)
Orang
yang berakal
Menurut
madzhab hanafi, orang yang berakad harus berakal. Anak kecil yang tidak berakal
(mumayyiz) yang telah diizinkan oleh walinya, boleh melakukan akad wadi’ah.
Mereka tidak mensyaratkan baligh dalam soal wadi’ah. Orang gila tidak
dibenarkan melakukan akad wadi’ah.
Sedangkan
menurut jumhur ulama, orang yang melakukan akad wadi’ah disyaratkan baligh,
berakal dan cerdas (dapat bertindak secara hukum), karena akad wadi’ah,
merupakan akad yang banyak mengandung resiko penipuan. Oleh karena itu, anak
kecil kendatipun sudah berakal, tidak dapat melakukan akad wadi’ah baik sebagai
orang yang menitipkan maupun sebagai orang yang menerima titipan. Disamping itu
jumhur ulama juga mensyaratkan, bahwa orang yang berakad itu harus cerdas,
walaupun ia sudah baligh dan berakal. Sebab, orang baligh dan berakal belum
tentu dapat bertindak secara hukum, terutama sekali apabila terjadi persengketaan.
2)
Barang
titipan
Barang
titipan itu harus jelas dan dapat dipegang dan dikuasai. Maksudnya, barang
titipan itu dapat diketahui jenisnya atau identitasnya dan dikuasai untuk
dipelihara.
E.
Sifat
akad wadi’ah
Ulama fiqh sepakat mengatakan, bahwa
setatus wadi’ah bersifat amanat, bukan dhamaan, sehingga semua kerusakan
penitipan tidak menjadi tanggung jawab pihak yanh menitipi, berbeda sekiranya
kerusakan itu disengaja oleh orang yang dititipi, sebagai alasannya adalah
sabda Rasulullah yang artinya:
“orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan
penghianatan tidak dikenakan ganti rugi”. (HR.Baihaqi dan Daru-Quthni).
Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan ganti
rugi atas orang yang dititipi juga harus menjaga amanat dengan baik dan tidak
boleh menuntut upah (jasa) dari orang yang menitipkan.
F.
Perubahan
wadi’ah dari amanat menjadi dhamaan
Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu, bahwa akad wadi’ah
adalah bersifat amanat dan imbalannya hanya mengharapkan ridha Allah semata.
Namun, para ulama fiqh memikirkan juga kemungkinan lain, yaitu dari wadi’ah
yang bersifat amanat berubah menjadi wadi’ah yang besifat dhamaah (ganti rugi).
Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
1.
Barang
itu tidak dapat dipelihara oleh orang yang dititipi.
2.
Barang
titipan itu dititipkan lagi kepada orang lain yang bukan keluarga dekat, atau
orang bukan dibawah tanggung jawabnya.
3.
Barang
titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi, kemudian barang itu rusak
atau hilang.
4.
Orang
yang dititipi mengingkari ada barang titipan kepadanya.
5.
Orang
yang menerima barang titipan itu, mencampuradukkan dengan barang pribadinya,
sehingga sekiranya ada yang rusak atau hilang.
6.
Orang
yang menerima titipan itu tidak menepati syarat-syarat yang dikemukakan oleh
penitip barang itu, seperti tempat penyimpanannya dan syarat-syarat lainnya.
G.
Rusak
dan hilangnya benda titipan
Jika orang yang menerima titipan
mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan
darinya, maka ucapannya harus disertai dengan sumpah supaya perkataannya itu
kuat kedudukannya menurut hukum, namun ibnu al-munzir berpendapat bahwa orang
tersebut diatas sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan
adanya sumpah.
Menurut ibnu taimiyah apabila
seseorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda titipan
ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelola tidak ada yang mencuri,
maka orang yang menerima benda-benda titipan tersebut wajib mengantinya.
Bila seseorang menerima benda-benda
titipan, sudah sangat lama waktunya, sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana
atau siapa pemilik benda-benda titipan tersebut dan sudah berusaha mencarinya
dengan cara yang wajar, namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas, maka
benda-benda tersebut dapat digunakan untuk kepentingan agama islam, dengan
mendahulukan hal-hal yang paling penting diantara masalah-masalah yang penting.
10. RIBA
1. Definisi Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir
kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’;
adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt
yang artinya:
(ihtazzat wa rabat)
“maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).
2. Ancaman Bagi Pelaku Riba
Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan
perdagangan. Seperti firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara
kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya
saling kerelaan dari antara kamu." (an-Nisa': 29)
Islam sangat memuji orang yang berjalan di permukaan
bumi untuk berdagang. Firman Allah:
"Sedang yang lain berjalan di permukaan bumi untuk mencari anugerah
Allah." (al-Muzammil: 20)
Akan tetapi Islam menutup pintu bagi siapa yang
berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Maka
diharamkannyalah riba itu sedikit maupun banyak, dan mencela orang-orang Yahudi
yang menjalankan riba padahal mereka telah dilarangnya.
Di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan ialah
firman Allah dalam surat al-Baqarah:
"Hai orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan
tinggalkanlah apa yang tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman.
Apabila kamu tidak mau berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah
dan Rasul-Nya, dan jika kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-pokok
hartamu, kamu tidak boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi."
(al-Baqarah: 278-279)
Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas
riba dan orang-orang yang meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya
dalam masyarakat, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:
"Apabila riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah
menghalalkan dirinya untuk mendapat siksaan Allah." (Riwayat Hakim; dan
yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dengan sanad yang baik)
Dalam hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam
agama-agama samawi lainnya. Dalam agama Yahudi, di Perjanjian Lama terdapat
ayat yang berbunyi: "Jikalau kamu memberi pinjam uang kepada ummatku,
yaitu baginya sebagai penagih hutang yang keras dan jangan ambil bunga
daripadanya." (Keluaran 22:25).
Dalam agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya
dalam Injil Lukas dikatakan:
"Tetapi hendaklah kamu
mengasihi seterumu dan berbuat baik dan memberi pinjam dengan tiada berharap
akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu..." (Lukas 6: 35).
Riba di haramkan baik dalam al-quran maupun
hadis.berikut hadis yang melarang dan mengecam praktik riba dengan kata-kata
yang tegas dan jelas. Dalam hadis ini tersebut dikatakan dengan jelas tentang
laknat bagi pelaku riba. Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, pemberinya,
penulisnya, kedua saksinya mereka semua sama. Nabi SAW bersabda : “riba itu
sekalipun dapat menyebabkan bertambah banyak, tetapi akibatnya akan berkurang”
Hadis ini merupakan ancaman bagi orang yang melakukan
praktik riba, bahwa riba memang dapat mendatangkan keuntungan besar bagi
pelakunya, tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan berkah dari Allah SWT,
sehingga pada akhirnya akan berkurang. Dalam alquran ditegaskan bahwa Allah SWT
akan memusnahkan harta yang di peroleh dengan cara riba dan menghilangkan
keberkahannya.
3. Jenis-jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu
Ø Riba hutang-piutang dan riba jual-beli.
Riba hutang-piutang terbagi menjadi 2 yaitu
1. riba qardh dan
2. riba jahiliyyah.
Sedangkan riba
jual-beli terbagi 2 juga yaitu
1. riba fadhl dan
2. riba nasi’ah.
Berikut penjelasannya :
a) Riba hutang piutang ( yad )
·
Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
·
Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar
hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
b) Riba jual beli ( bai’)
·
Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang
sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang
dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
·
Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam
nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini
dengan yang diserahkan kemudian.
4. Hukum Riba
Riba, hukumnya berdasar
Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda,
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya
Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah,
(kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara
yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam)
melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina
perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman
kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92
no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).
5. jenis - jenis Riba
Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.
Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang sudah ditentukan di
awal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang yang menerima
pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo. Riba model ini diharamkan
oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam.
Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar barang yang sejenis
dengan ada tambahan, misalnya tukar menukar uang dengan uang, menu makanan
dengan makanan yang disertai dengan adanya tambahan.
Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw dan ijma’ kaum
Muslimin, karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah. Beberapa Barang yang
padanya Diharamkan Melakukan Riba Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis
barang yang sudah ditegaskan nash-nash syar’i berikut:
Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “(Boleh menjual
emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis
gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sebanding, sama
dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu, apabila tunai
dengan tunai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 949, dan Muslim III: 1211 no: 81
dan 1587).
Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang sejenis dari empat
jenis barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar dengan tamar, maka
haram tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama
baik dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa memperhatikan kualitasnya
bermutu atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam majlis.
Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu
menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang
lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah kamu
tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual emas dan
perak yang barang-barangnya belum ada dengan kontan.” (Muttafaqun ‘alaih:
Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208 no: 1584, Nasa’i VII: 278 dan
Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na).
Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda. “Emas dengan emas
adalah riba kecuali begini dengan begini (satu pihak mengambil barang, sedang
yang lain menyerahkan) bur dengan bur (juga) riba kecuali begini dengan begini,
sya’ir dengan sya’ir riba kecuali begini dengan begini, dan tamar dengan tamar
adalah riba kecuali begini dengan begini.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bahri IV:
347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1209 no: 1586,
Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasa’i VII: 273 dan bagi mereka lafadz pertama
memakai adz-dzahabu bil wariq (emas dengan perak) dan Aunul Ma’bud IX: 197 no:
3332 dengan dua model lafadz).
Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah
mendapat rizki berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami
menukar dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai kepada
Rasulullah saw maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar
dengan satu sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’
biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.” (Muttafaqun
’alaih: Muslim III: 1216 no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 311
no: 2080 secara ringkas dan Nasa’i VII: 272).
Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini dengan lain jenis,
seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan
dengan syarat harus diserah terimakan di majlis:
Berdasar hadits Ubadah tadi:
“…tetapi jika berlainan
jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubadah ra
Nabi saw bersabda: “Tidak mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih
besar jumlahnya daripada emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka
tidak boleh; dan tidak mengapa menjual bur dengan sya’ir dan sya’irnya lebih
banyak daripada burnya secara kontan dan adapun secara kredit, maka tidak
boleh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 195 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 198 no: 3333).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar