Rabu, 13 Juni 2012

Kumpulan Artikel Fiqh Muamalah


1.      HUTANG PIUTANG DAN GADAI

A.  Hutang Piutang (al-Qardh)
      1.   Pengertian dan Landasan Hukum
Secara etimologi, qardh berarti al-qath’I yaitu memotong. Di dalam kamus Al-Munawwir al-qardh berarti al-sulfah yaitu pinjaman.
Pengertian qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan oleh ulama Malikiyah adalah “sesuatu penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai imbalan atau tambahan dalam pengembaliannya.”
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, qardh mempunyai pengertian yakni akad pemilikan sesuatu untuk dikembalikan dengan yang sejenis atau yang sepadan.
Dari definisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya qardh merupakan salah satu jenis pendekatan untuk bertakarrub kepada Allah dan merupakan jenis mu’amalah yang bercorak pertolongan kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.
      
Adapun yang menjadi landasan hukum diperbolehkannya qardh adalah Al-Qur’an surat al hadid ayat 1 yang artinya 
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11)
  1. Rukun dan Syarat al-Qardh
 Adapun yang menjadi rukun qardh adalah:
a.       Muqridh (yang memberikan pinjaman).
b.      Muqtaridh (peminjam).
c.        Qardh (barang yang dipinjamkan)
d.       Ijab qabul
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh adalah:
a.       Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.
b.      Qardh harus berupa harta yang menurut syara’ boleh digunakan/dikonsumsi.
c.       Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas.
3.      Larangan Meraih Keuntungan (Manfa’at) Melalui Qardh
Aqad qardh dimaksudkan untuk menolong sesama muslim, bukan bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Para Fuqaha sepakat bahwa jika pinjaman dipersyaratkan agar memberikan keuntungan apapun bentuknya atau tambahan kepada pihak muqaridh, maka yang demikian itu haram hukumnya.
 Jika keuntungan tersebut tidak disyaratkan dalam akad atau jika hal tersebut telah menjadi kebiasaan di masyarakat menurut mazhab Hanafiyah adalah boleh.
 Fuqaha Malikiyah membedakan utang piutang yang bersumber dari jual beli dan utang piutang saja. Dalam hal utang piutang yang bersumber dari jual beli, penambahan pembayaran yang tidak disyaratkan adalah boleh. Sedangkan dalam hal utang piutang penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak dijanjikan karena telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat hukumnya haram. Penambahan yang tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi kebiasaan masyarakat, baru boleh diterima.
B.  Gadai (al-Rahn)
1.   Pengertian dan Dasar Hukum
Secara etimologi, gadai (al-rahn) yaitu pemenjaraan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi al-rahn yang dikemukakan para ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan:
 Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Ulama  Hanafiyah mendefinisikannya dengan : Menjadikan sesuatu sebagai jaminan terhadap hak yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak itu, baik seluruhnya maupun sebagian.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan : Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan adalah firman Allah swt. berikut:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang” (QS. Al-Baqarah: 283)

2.   Rukun Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain:
a.       Lafadz ( ijab dan qabul )
b.       Aqid, yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin).
c.        Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.
d.       Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
3.      Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Jumhur ulama fiqh, selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya utangnya, ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya.
Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkannya, karena dengan adanya izin, tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang jaminan itu. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah lainnya, Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Karena, apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syara’, sekalipun diizinkan pemilik barang. Orang yang memegang barang gadaian boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan hanya sekedar mengganti kerugiannya untuk menjaga barang itu.
Sabda Rasulullah Saw.
اِذَاارْتُهِنَ شَاةٌ شَرِبَ المُرْتَهِنُ مِنْ لَبَنِهَا بِقَدْرِ عَلْفِهَا فَاِنِاسْتَفْضَلَ مِنَ اللَبَنِ بَعْدَ ثَمَنِ العَلْفِ فَهُوَ رِبَا
 Apabila seekor kambing digadaikan, maka yang memegang gadaian itu boleh meminum susunya sekedar sebanyak makanan yang diberikannya pada kambing itu. Maka jika dilebihkannya dar sebanyak itu, lebihnya itu menjadi riba.” (Riwayat Hammad bin Salmah)



2.      HIBAH
A.    Arti Dan Landasan Hibah
  1. Pengertian hibah
Dalam Al-Qur’anul Karim terdapat firman Allah dalam Q.S. Ali Imran ayat 38 yang artinya:
Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, berilah Aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa".
Dan menurut terminology syari’at Islam:
عَقْدٌ يُقِيْدُ التَّمْلِيْكَ بِلاَ عَوْضٍ حَالَ اَكْيَاةِ تَطَوُّعًا
Artinya:
Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.
Menurut ulama hanabilah :
تَمْلِيْكُ جَائِزٍ التَّصَرُّفِ مَالًا مَحْلُوْمًا اَوْ مَجْهُوْلاً تَعَدَّرَ عِلْمِهِ مَوْجُوْدًا مَقْدُوْرًا عَلَى تَسْلِيْمِهِ غَيْرَ وَاجِبٍ فِى الْحَيَاةِ بِلاَ عَوْضٍ بِمَا يُعَدَّ هِبَّةٌ عُرْفًا مِنْ لَفْظِ هِبَّةٍ وَتَمْلِيْكٍ وَ نَحْوِهَا

Artinya:
Memberikan kepemilikan atas barang yang dapat ditasharuf-kan  berupa harta yang jelas atau tidak jelas karena adanya uzur untuk mengetahuinya, berwujud, dapat diserahkan  tanpa adanya kewajiban, ketika masih hidup, tanpa adanya pengganti  yang dapat dikategorikan sebagai hibah menurut adat dengan hafazh atau tamlik (menjadikan milik.
  1. Landasan hibah
1) Al-Qur’an
Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)
2) As-Sunnah
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ وَ عَبْدُ الله بْنِ عُمَرَ وَ عَائِشَةِ ر.ع. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. تَهَادُوا تَجَابُوْا
Artinya:
Dari Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, dan Siti Aisyah  r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, saling memberi hadiahlah kamu semua (maka) kamu akan saling mencintai.
B.     Rukun Hibah
Menurut Ulama Hanafiyah rukun Hibah Ijab dan Qabul. Dalam Khitab “Al-Mabsuth rukun hibah adalah Ijab and Qabul dan Qadhu (pemegang dan penerima).
Menurut Jumhur Ulama rukun Hibah ada empat:
1.      Wahib (pemberi)
2.      Mauhub Lah (penerima)
3.       Mauhub (barang yang dihibahkan)
4.      Shighat (Ijab dan Qabul)
C.     Syarat Hibah
Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi  hibah dan sesuatu yang dihibahkan:
1.      Syarat-syarat penghibah
Ø  Penghibah memiliki apa yang dihibahkan
Ø  Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan
Ø  Penghibah itu orang dewasa, berakal dan rasyid
Ø  Tanpa ada unsure paksaan
2.      Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah
Ø  Berhak memiliki dan benar-benar ada di waktu di beri hibah
Ø  Memegang hibah atas seizin Wahib
3.      Syarat-syarat barang yang dihibahkan
·         Harus  ada waktu hibah
·         Berupa harta yang  kuat dan bermanfaat
·         Milik sendiri
·         Dapat dimiliki dzatnya
·         Tidak berhubungan dengan tempat lain/terpisah
D.    Hukum (ketetapan) Hibah
  1. Hukum hibah
Dasar dari ketetapan hibah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi mauhubnya (penerima hibah) tanpa adanya pengganti
  1. Sifat hukum Hibah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim. Dengan demikian, dapat dibatalkan oleh pemberi.
Akan tetapi, dihukumi makruh sebab perbuatan itu terkesan termasuk menghina si pemberi hibah. Selain itu, yang diberi hibah harus ridha.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah dipegang tidak boleh dikembalikan, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih kecil, jika belum bercampur dengan hak orang lain.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hibah tidak dapat dikembalikan kecuali pemberian orang tua kepada anaknya.
اَلْعَائِدِ فِى هِبَّتِهِ كَاالْعَائِدِ فِى قَيْئِهِ
Artinya:
Orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang mengembalikan muntahnya.
E.     Pemberian pada anak menjelang meninggal (Athiyah)
Ulama sepakat bahwa bagi orang tua disunahkan menyamakan pemberian kepada anak-anaknya. Hukumnya makruh melebihkan pemberian kepada salah satu anak saja.
Jumhur ulama berpendapat:
Bahwa persamaan yang dimaksud adalah menyamakan pemberian antara anak laki-laki dan perempuan
Ulama Hanabilah dan Muhammad dari golongan Hanafiyah berpendapat:
Bahwa persamaan pemberian orang tua kepada anaknya berdasarkan ketetapan waris, dengan demikian seorang anak laki-laki mendapat dua bagian anak peremuan.


3.      PERCERAIAN
                       
A.    Pengertian perceraian
Perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut "talak" atau "furqoh" adapun arti dari talak ialah membuka ikatan membatalkan perjanjian.
Adapun yang dimaksud dengan putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami istri, yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian, perceraian dan lain lain. Perceraian pasti akan memberikan dampak yang signifikan dalam kehidupan.
B.     Hubungan perceraian dengan ekonomi
Begitu Anda resmi bercerai, hidup Anda akan dimulai lagi dari awal. Apakah akan menjadi semakin baik atau semakin buruk, semua tergantung pada niat dan usaha Anda. Perceraian memang akan berpengaruh pada kondisi emosional dan keadaan ekonomi keluarga.
Kehidupan ekonomi setelah bercerai dapat menjadi sulit terutama jika saat menikah dulu, Anda hanya sebagai ibu rumah tangga. Ataupun jika Anda bekerja, tetap saja pendapatan keluarga menjadi berkurang karena kehilangan satu orang pencari nafkah. Bantuan keuangan atau tunjangan dari mantan suami mungkin akan sedikit membantu namun seringkali tidak cukup untuk membiayai kebutuhan Anda dan anak terutama untuk jangka panjang. Oleh sebab itu, Anda harus bisa melakukan sesuatu untuk menambah penghasilan keluarga. Anda harus bekerja entah bekerja sendiri sebagai wiraswasta, bekerja membantu saudara, ataupun bekerja kantoran. Dengan demikian, kehidupan ekonomi setelah bercerai dapat semakin membaik dan Anda juga bisa semakin mandiri dan tidak tergantung pada bantuan mantan pasangan atau keluarga besar.
Perceraian akan mempengaruhi emosi pada pasangan yang bercerai. Kesedihan, kekecewaan, dan merasa gagal seringkali menjadi emosi dominan pada pasangan yang bercerai. Segeralah sadari bahwa keputusan bercerai ini adalah keputusan terbaik yang telah terjadi dalam hidup Anda. Jangan menganggap perceraian hanya kegagalan semata namun awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Bagaimanapun, Anda dan mantan pasti sudah berpikir masak-masak mempertimbangkan alasan untuk bercerai. Untuk mengatasi kelabilan emosi pada pasangan yang bercerai, Anda dapat sering menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan anak tercinta untuk mengusir rasa sepi, Anda juga bisa melakukan banyak aktifitas di luar yang bisa membangun sisi positif Anda.
C.     Faktor-faktor penyebab perceraian
Faktor penyebab timbul nya perceraian
Ø  Kesetian dan Kepercayaan
Didalam hal ini yang sering kali menjadi pasangan rumah tangga bercerai, dalam hal ini baik pria ataupun wanita sering kali mengabaikan peranan kesetiaan dan kepercayaan yang diberikan pada tiap pasangan, hingga timbul sebuah perselingkuhan.
Ø  Seks
Didalam melakukan hubungan seks dengan pasangan kerap kali pasangan mengalami tidak puas dalam bersetubuh dengan pasangannya, sehingga menimbulkan kejenuhan tiap melakukan hal tersebut, dan tentunya anda harus mensiasati bagaimana pasangan anda mendapatkan kepuasan setiap melakukan hubungan seks.
Ø  Ekonomi
Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini memaksa kedua pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki pekerjaan.
Ø  Pernikahan Tidak Dilandasi rasa Cinta
Untuk kasus yang satu ini biasanya terjadi karna faktor tuntutan orang tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan pasangan yang sudah ditentukan, sehingga setelah menjalani bahtera rumah tangga sering kali pasangan tersebut tidak mengalami kecocokan.
D.    Alasan-alasan perceraian menurut undang-undang        
Mengenai alasan perceraian, UU perkawinan hanya mengaturnya secara umum yaitu bahwa untuk melakukan perceraian harus cukup ada alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri (pasal 34 ayat 2 UU perkawinan). Di dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 14 dinyataka hal-hal yang menyebabkan terjadinya karena alasan-alasan sebagai berikut :
a)      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b)       Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c)      Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d)     Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e)      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f)        Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan  pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dilihat dari pasal 116, ada tambahan dua sebab perceraian dibanding dengan pasal 14 PP 9 tahun 1975 yaitu suami melanggar taklik talak dan murtad. Tambahan ini relative penting karena sebelumnya tidak ada.
Alasan-alasan perceraian diatas secara limitatif ( terbatas pada apa yang disebutkan UU saja ) dan disamping itu harus ada alasan seperti yang disebutkan dalam pasal 39 ayat 2 UUP, maka jelas kepada kita bahwa UU sangat mempersulit terjadinya perceraian. Apalagi prosedur perceraian itu, haruslah melalui pengadilan yang berwenang dan sebelum hakim memutuskan perkara perceraian itu dia terlebih dahulu mengadakan perbagai usaha perdamaian diantara suami istri itu, baik dilakukan sendiri maupun bantuan pihak lain.
Dengan ketentuan tersebut diatas, maka perceraian tidak dapat lagi dilakukan sewenang-wenang oleh salah satu pihak suami-istri dan apabila mereka akan bercerai terlebih dahulu harus diuji dan diperiksa, apakah perceraian tersebut dapat dibenarkan oleh UU atau tidak.
Ketentuan ini merupakan sebagian dari tuntutan kaum wanita Indonesia, yang melihat praktek-praktek perceraian sebelum adanya UU perkawinan. Sedangkan dalam penentuan dalam proses perceraian ini adalah wewenang dari instansi peradilan. Oleh karena itu, diharapkan agar hakim dapat memikul tanggung jawab yang besar dengan kesadaran tinggi akan jiwa dan tujuan yang diatur dalam UU perkawinan serta harapan masyarakat pada umumnya.
E.     Tata cara untuk mengajukan gugat cerai
Pasal 40 Undang-Undang Perkawinan ( UU No. 1/1974),yaitu dalam ayat-ayatnya sebagai berikut.
1.      Gugatanperceraian diajukan kepada pengadilan
2.      Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan perundangan tersendiri.
Pengaturan tentang Tata cara Perceraian selanjutnya terdapat dalam
1.      Bab V dimulai dari Pasal 14 hingga Pasal 36 PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
2.      Menurut Pasal 14 PP No. 9 tahun 1975 tersebut, seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai alasanalasannya, serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat tersebut dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian tersebut
3.       Pasal 16 PP tersebut mengatur bahwa pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan yang tepat dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga (Pasal 16). Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi utuk diadakan pencatatan perceraian (Pasal 17).
Perceraian tak hanya berdampak pada pasangan suami istri (pasutri), perceraian juga berdampak buruk pada si buah hati. Bukan hanya hak asuh yang menjadi permasalahan, faktor psikologis anak juga harus dipertimbangkan. Banyak masalah yang akan dihadapi anak pascaperceraian.
Perceraian dapat menimbulkan dampak serius karena adanya perubahan kondisi finansial, tempat tinggal, dan hilangnya kontak dengan orang tua kandung akan berpengaruh pada sumber daya ekonomi dan sosial.
Menurut beberapa ahli bahwa permasalahan yang paling penting adalah bahwa anak tidak lagi tinggal dengan kedua orang tua kandungnya. Hal ini akan berpotensi menimbulkan banyak masalah baru dalam kelanjutannya.
Biasanya anak paling tidak siap dengan perpisahan orang tua. Malah banyak anak yang depresi gara-gara perceraian. Ujungnya, anak menjadi terlalu emosional dan akan melakukan hal-hal untuk menarik perhatian. Biasanya mereka mulai melakukan hal-hal buruk seperti merokok, salah gaul, hingga kecanduan narkoba. Itu adalah beberapa bentuk pelarian yang negatif. Dalam kasus perceraian, anak juga akan mengalami dilema antara memilih ibu atau ayahnya. Bisa saja saat mereka bersama ayah, yang terpikir justru kebersamaan tersebut akan menyakiti perasaan ibunya. Atau mungkin timbul pertanyaan bagaimana jika mereka hanya menyayangi salah satu orang tuanya. Selain itu ada beberapa hal yang merupakan dampak perceraian pada anak, yakni:
·         Tingkat kepercayaan seorang anak kepada orang tuanya akan  bergeser dan berubah. Ibarat piring yang sudah pecah, maka jiwa seorang anak tak akan utuh seperti semula.
·         Paradigma si anak terhadap esensi sebuah kebenaran yang hakiki akan berubah. Dia akan apatis dan apriori terhadap khotbah dan wejangan, dan menganggapnya sebagai kemunafikan orang dewasa.
·         Tingkat konsentrasi seorang anak dalam segala hal termasuk dalam hal belajar, akan kabur dan ngambang.
·         Rasa hormat seorang anak kepada orang tuanya yang sudah dianggap panutan baginya akan luntur secara perlahan.
·          Rasa percaya diri si anak akan hilang, sedangkan sikap skeptis dan ragu semakin besar.
Sebenarnya masih banyak efek perceraian pada anak seperti jiwanya kehilangan kendali, sehingga mudah terpengaruh oleh arus zaman yang negatif seperti pergaulan bebas, budak narkoba, menjadi pengikut aliran sesat, dsb. Semua pihak berkewajiban mengantisipasi dampak perceraian pada anak dengan cara merangkul mereka dengan siraman rohani yang menyejukkan.



4.      MUDHARABAH ( Kerjasama Bagi Hasil )
A.    Pengertian
Salah satu bentuk kerjasama anatara pemilik modal dengan seseorang, yang pakar dalam berdagang, di dalam fiqh islam disebut dengan mudharobah, yang oleh ulama fiqh Hijaz menyebutnya dengan qiradh.
Secara termonologi, para ulama fiqh mendefinisikan mudharobah atau qiradh dengan:
 أﻥ يد فع ا لما لك إلى العا مل ما لا يتجر فيه و يكو ن الر بح مشتر كا
Artinya
Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama.
Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan itu, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Definisinya ini menunjukan bahwa yang diserahkan kepada pekerja (pakar dagang) itu adalah berbentuk modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah.
B.     Hukum Mudharobah dan dasar hukumnya
Akad mudharobah dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak di antara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Alasan yang dikemukakan para ulama fiqh tentang keboleh-an bentuk kerja sama ini adalah firman Allah dalam surat al-Muzzammil, 73: 20 yang berbunyi:

...و ا خر و ن يضر بو ن فى ا لأ ر ض يبتغو ن من فضل ا لله
dan sebagian mereka berjalan di buki mencari karunia Allah…
Dan surat al-Baqarah, 2: 198 berikut:
ليس عليكم جنا ح أ ن تبتغوا فضلا من ربكم ...
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…
Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerja sama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi. Kemudian sabda Rasulullah SAW dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib yang artinya:
Tuhan kami ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharobah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh diberikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya”. (HR ath-Thabrani).
C.      Rukun dan Syarat mudharabah
Terdapat perbedaan pandangan ulama Hanafiyah jumhur ulama dalam menetapkan rukun akad mudharabah. Ulama Hanafiyah, menyatakan  bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama ada tiga, yaitu :
1.      Orang yang berakad ( shahibul maal dan pengelola )
2.      Modal, pekerjaan, dan keuntungan
3.       Shigat ( ijab qabul)
Adapun syarat – syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:
a.       Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang mengerti hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat – syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
b.      Yang terkait dengan modal, disyaratkan: (1)berbentuk uang, (2)jelas jumlahnya, (3)tunai, (4)diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu, jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian halnya juga dengan utang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak menganggu kelancaran usaha itu.
c.       Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing – masing diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Aqpabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan kerugiaan tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal.
Atas dasar syarat – syarat di atas, ulama Hanafiyah membagi bentukbakad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah shahihah ( mudharabah yang sah ) dan mudharabah fasidah ( mudharabah yang rusak ). Jika mudharabah yang dilakukan itu jatuh kepada fasid, menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, pekerja hanya berhak menerima upah kerja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pedagang di daerah itu, sedangkan seluruh keuntungan menjadi milik pemilik modal. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja tetap seperti dalam mudharabah shahihah, dalam artian bahwa ia tetap mendapatkan bagian keuntungan.
D.    Macam-macam Mudharabah
Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja, para ulama fikih membagi akad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah (penyerahan modal secara mutlak, tanpa syarat dan batasan) dan mudharabah muqqayadah (penyerahan modal dengan syarat dan batasan tertentu). Dalam mudharabah muthlaqah, pekerja diberi kebebasan untuk mengelola modal itu selama profitable. Sedangkan, dalam mudharabah muqayyadah, pekerja mengikuti ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pemilik modal. Misalnya, pemberi modal menentukan barang dagangan, lokasi bisnis dan suppliernya.
Jika suatu akad mudharabah telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka mempunyai akibat sebagai berikut :
1.      Modal ditangan pekerja berstatus amanah, dan posisinya sama dengan posisi seorang wakil dalam jual beli. Pekerja berhak atas bagian keuntungan yang dihasilkan.
2.      Apabila akad ini berbentuk mudharabah muthlaqah, pekerja bebas mengelola modal selama profitable.
  1. Jika kerja sama itu menghasilkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan keuntungan an modalnya, tetapi jika tidak menghasilkan keuntungan, pemilik modal tidak mendapatkan apa-apa.


5.      IJARAH
a.       Pengertian
Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa didikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.
 Ijarah adalah akad antara bank (mu’ajjir) dengan nasabah (mutta’jir) untuk menyewa suatu barang/objek sewa milik bank dan bank mendapat imbalan jasa atas barang yang disewanya, dan diakhiri dengan pembelian obyek sewa oleh nasabah.
Landasan syariah akad ini adalah fatwa DSN-MUI No.09 /DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah.
Dasar Hukum Ijarah
a.       Al- Qur’an
Dalam surat al-baqarah yang artinya:
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS.al-Baqarah:233)
b.      Al-Hadits
“Berikanlah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”.(HR. Abu Ya’la, Ibnu Majah, at-Thabrani dan Tirmidzi)
Rukun Ijarah
1.      Mu’jar(orang/barang yang disewa)
2.      Musta’jir (orang yang menyewa)
3.      Sighat (ijab dan qabul)
4.      Upah dan manfaat
Syarat Ijarah
·         Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal
·          Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah
·          Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna
·         Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat
·         Objek ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’ dan merupakan sesuatu yang bisa disewakan
·         Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
·         Upah/sewa dalam akad harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
Fitur dan Mekanisme
a)      Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), yaitu memperoleh pembayaran sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir);dan mengakhiri akad Ijarah dan menarik objek Ijarah apabila penyewa tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.
b)       Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa antara lain, yaitu:
§  Menyediakan objek ijarah yang disewakan;
§  Menanggung biaya pemeliharaan objek ijarah;
§  Menjamin objek ijarah yang disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik.
c)      Hak penyewa (musta’jir), antara lain meliputi:
§  Menerima objek ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan;
§  Menggunakan objek ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan.
d)  Kewajiban penyewa antara lain meliputi:
*      Membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan;
*      Mengembalikan objek iajrah apabila tidak mampu membayar sewa;
*      Menjaga dan menggunakan objek ijarah sesuai yang diperjanjikan;
*      Tidak menyewakan kembali dan/atau memindahtangankan objek ijarah kepada pihak lain.
Objek Ijarah
Objek ijarah adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan, antara lain:
1.      Objek ijarah merupakan milik dan/atau dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);
2.      Manfaat objek ijarah harus dapat dinilai;
3.      Manfaat objek ijarah harus dapat diserahkan penyewa (musta’jir);
4.      Pemanfaatan objek ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syariah (tidak diharamkan);
5.      Manfaat objek ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas;
6.      Spesifikasi objek ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelayakan, dan jangka waktu pemanfaatannya
Sifat dan Hukum Akad Ijarah
Para ulama Fiqh berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti contohnya salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Apabila seorang yang berakad meninggal dunia, manfaat dari akad ijarah boleh diwariskan karena termasuk harta dan kematian salah seorang pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.
Berakhirnya Akad Ijarah
1.      Objek hilang atau musnah,
2.      Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir,
3.      Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya seorang yang berakad.
4.      Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak seperti rumah yang disewakan disita Negara karena terkait utang yang banyak, maka akad ijarah batal. Akan tetapi, menurut jumhur ulama uzur yang boleh membatalkan akad ijarah hanyalah apabila obyeknya cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.
Aplikasi Ijarah di Lembaga Keuangan Syariah
Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operting lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan Ijarah Muntahiya bit-Tamlik, karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.



6.      PERNINGKAHAN
Dalam pandangan islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Dengan melihat kepada hakekat perkawinan itu merupakan akad yang memperbolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah.
Agar akad nikah dapat terlaksana, ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun nikah adalah :
Ø  Calon Suami Istri
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti  sesama laki-laki atau sesama perempuan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi laki-laki yang akan kawin adalah[1]:
a.       Bukan mahram dari calon istri
b.      Tidak terpaksa, tetapi atas kemauan sendiri
c.        Orangnya tertentu (jelas identitasnya dan dapat di bedakan dengan yang lainnya, baik yang menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan dan hal lainnya yang berkenaan dengan dirinya).
d.      Tidak sedang menjalankan ibadah ihram (haji).
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi perempuan yang akan kawin adalah :
a.       Tidak ada halangan syari’ah, seperti bukan mahram, tidak iddah, tidak bersuami.
b.       Merdeka, atas kemauan sendiri
c.        Jelas orangnya
d.       Tidak sedang menjalankan ibadah ihram (haji)

Ø  Wali
Yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditetapkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip.
Dalam akad  perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai oarng yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Adapun orang-orang yang berhak menempati kedudukan wali itu ada tiga kelompok:
1.      Wali nasab, yaitu wali berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan kawin.
2.      Wali mu’thiq, yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya yang dimerdekakan.
3.      Wali hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.
Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yangberhak menjadi wali. Jumhur ulama membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu.
Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
·          Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
·           Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
·           Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
·           Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
·          Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
·          Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
·          Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
·          Anak paman seayah,
·           Ahli waris kerabat lainya kalau ada.
Orang-orang yang berhak menempati kedudukan wali itu harus memenuhi syarat sebagai berikut :
Ø  Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak menjadi wali.
Ø  Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
Ø   Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
Ø  Orang merdeka.
Ø  Tidak berada dalam pengampunan atau mahjur alaih. Alasanya ialah bahwa orang yang berada di bawah pengampunan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kedudukanya sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum.
Ø  Tidak sedang melakukan ihram.
Ø  Berpikiran baik. Oarang yang terganggu pikiranya karena ketuaannya tidak boleh menjadi wali, karena dikawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qaarib. Bila wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan di atas.
Ø  Saksi
            Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Saksi dalam pernikahan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Saksi harus berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama.
b.       Kedua saksi itu beragama islam.
c.       Kedua orang saksi adalah orang yang merdeka.
d.      Kedua saksi itu adalah orang laki-laki.
e.       Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah (sopan sntun).
f.       Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.

Ø  Akad nikah
            Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul sebagai rukun perkawinan. Untuk sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa  syarat. Di antara syarat yang telah disepakati oleh ulama adalah sebagai berikut :
1.      Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Seperti ucapan wali pengantin perempuan: “saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-quran”. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki. Seperti ucapan mempelai laki-laki: “saya terima nikahnya anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-quran.
2.      Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.
3.      Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
4.      Ijab dan qabul tidak boleh menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan ditujukan untuk selama hidup.
5.      Ijab dan qabul harus menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Tidak boleh menggunakan ucapan sindiran, karena untuk penggunaan lafaz sindiran itu diperlukan niat, sedangkan saksi yang hadir dalam perkawinan itu tidak akan dapat mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang.


7.      FAROID

A.    Wasiat
Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia. Hukum wasiat adalah sunat. Sesudah Allah menerangkan beberapa ketentuan dalam pembagian harta pusaka, diterangkan bahwa pembagian harta pusaka tersebut hendaknya dijalankan.  
Rukun wasiat itu ada 4:
1.      Ada orang yang berwasiat
2.      Ada yang menerima wasiat
3.      Sesuatu yang diwasiatkan
4.      Lafad (kalimat) wasiat.
Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih kecuali apabila di izinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat meninggal. Sabda Nabi saw:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: اَنَّ النَّاسُ غَضُّوْا مِنَ الغُّلُثِ اِلىَ الرُّبُعِ فَاِنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الثُّلُثِ كَشِيْرٌ (روه البخارء و مسلم)
Dari Ibnu Abbas, Ia berkata: alangkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat mereka dari sepertiga keseperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah saw telah besabdawasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Wasiat hanya ditujuakn kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah kecuali apabila diridhakan oleh semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya yang berwasiat. Sabda Rasulullah saw:
عن ابى امامة قال سمعت النبى صلى الله عليه وسلم يقول ان الله قد اعطى كل ذى عق حقة فلا وصية لوارث (روه الخمسة الا النسائى)
Dari Abu Amanah, saya telah mendengar Nabi saw bersabda: sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris, maka dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli waris”. (HR. 5 orang ahli hadits, kecuali Nasai)
Hendaknya pada waktu berwasiat disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang yang adil. Wasiat diatas adalah wasiat yang berkenaan dengan harta. Adapula wasiat yang berkaitan dengan hak kekuasaan (tanggung jawab) yang akan dijalankan setelah ia meninggal dunia.
Syarat orang yang diserahi menjalankan wasiat yang terakhir ini ialah:
a)      Beragama Islam
b)      Sudah baligh
c)      Orang merdeka
d)     Amanah
e)      Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang dikehendaki oleh yang berwasiat.
A.    Shadaqah
Shadaqah yaitu pemberian sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain dengan tidak mengharapkan balasan dari orang yang menerimanya kecuali mengharapkan pahala dari Allah[16], hukum shadaqah ialah sunat. Hal ini sesuai dengan Firman Allah yang artinya:
 Dan bersedekahlah kepada Kami, sesungguhnya Allah memberikan balasan kepada orang yang bersedekah”. (QS. Yusuf: 88)
Rukun dan syarat shadaqah ada 4, yaitu:
1.      Ada yang memberi, syaratnya ialah orang yang berhak memperedarkan hartanya dan memiliki barang yang diberikan
2.      Ada yang diberi, syaratnya yaitu berhak memiliki
3.      Ada ijab qabul
4.      Ada barang yang diberikan, dengan syarat hendaknya barang itu dapat dijual.
B.     Wakaf
Wakaf adalah suatu kata berasal dari bahasa arab, yaitu wakaf artinya menahan, menghentikan atau mengekang. Menurut istilah menghentikan (menahan) perpindahan milik sesuatu harta yang bermanfaat dan tahan lama sehingga menfaat harta itu digunakan untuk mencari keridhaan Allah.
Rukun wakaf ada 4, yaitu:
1.      Yang berwakaf
2.      Sesuatu yang diwakafkan
3.      Tempat berwakaf
4.      Lafad berwakaf
Syarat wakaf ada 3, yakni:
1.      Selama-lamanya
2.      Tunai dan tidak ada khiyar syarat
3.      Hendaknya jelas kepada siapa diwakafkan.
C.     Hibah dan Hadiah
Kata hibah berasal dari bahasa arab yang artinya kebaikan atau keutamaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain baik berupa harta.
Rukun dan syarat hibah ada 4, yaitu:
1.      Shighat hibat, ialah kata-kata yang diucapkan oleh orang-orang yang melakukan hibah.
2.      Penghibah, ialah orang yang memberikan sesuatu atau harta kepada orang lain.
3.      Penerima hibah
4.      Barang hibah.
Hadiah adalah pemberian dengan tujuan untuk menghormati orang yang diberi disamping untuk mendapatkan ganjaran dari Allah.
            Rukun hadiah ada 4, yaitu:
1.      Yang memberi
2.      Yang diberi
3.      Barang yang diberikan
4.       Ijab qabul
Barang yang dihibahkan atau yang dihadiahkan itu tetap tidak boleh diambil lagi bila telah diterima, dipegang oleh orang yang diberinya dan bis terus menjadi hak miliknya.



8.      THAHARAH
(Bersuci)
A.    Arti Thaharah
Thaharah berdasarkan arti harfiah berarti bersih dan suci, sedangkan berdasarkan pengertian syara`, thaharah berarti mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis, khususnya pada saat kita hendak shalat. Lebih jauh lagi, thaharah berarti mensucikan diri dan hati. Taharah hukumnya wajib bagi setiap mukmin. Allah SAW berfirman yang artinya:
“hai orang yang berselimut bangunlah kemudian berilah peringatan dan anggungkanlah tuhanmu dan bersihkanlah pakaianmu.” (QS Al-Mudatstsir:1-4).
B.     Macam-macam air
Air yang dapat dipakai bersuci ialah air yang bersih (sici dan mensicikan) yaitu air yang keluar dari langit atau keluar dari bumi yang belum dipakai untuk bersuci. Air yang suci dan mensucikan ialah:L
1.      Air hujn
2.      Air sumur
3.      Air laut
4.      Air sungai
5.      Air salju
6.      Air telaga
7.      Air embun
C.     Pembagian air
Dirinjau dari segi hukumnya, air itu dapat dibagi menjadi empat bagian:
1.      Air suci dan mensucikan, yaitu air mutlak artinya air yang masih murni dapat digunakan untuk bersuci dengan tidak makruh.
2.      Air suci dan k dapat mensucikan. Tetapi makruh digunakan, yaitu air musyammas di tempat logam yng bukn emas.
3.      Air suci tetapi tidak dapat mensucikan, seperti air musta’mal menghilangkan hadast, atau menghilangkan hadis kalau tidak berubah rupanya, rasanya dan baunya.
4.      Air mutanajis, yaitu ait yang kena najis (kemasukan najis), sedang jumlahnya kurang dari dua kullah, maka air yang semcam ini tidak suci dan tidak dapat mensucikan.
Jika lebih dari dua kullah dan tidak berubah sifatnya, maka sah untuk bersuci.
Dua kullah sama dengan 216 liter, jika berbentuk bak, maka besarnya = panjang 60 cm dan dalam/tinggi 60 cm.
D.    Macam-macam najis
Najis ialah suatu benda yang kotor menurut syara’, misalnya:
1.      Bangkai, kecuali manusia, ikan dan belalang.
2.      Darah
3.      Nanah
4.      Sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur
5.      Anjing dan babi
6.      Minuman keras
7.      Bagian anggota badb binatang yang terpisah karena di[otong dan sebagainya selagi masih hidup.
E.     Pembagian najis
Najis iti dapat dibagi menjadi 3 bagian:
1.      Najis Mukhaffafah (ringan) : ialah air kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2 tahun dan belum pernah makan sesuatu kecuali air susu ibunya.
2.      Najis mughallazhah (berat) ialah najis anjing dan babi dan keturunannya.
3.      Najis Mutawassithah (sedang) : ialah najis yang selain dari dua najis tersebut diatas, seperti segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur manusia dan binatang, kecuali air mani, barang cair yang memabukkan, susu hewan yang tidak halal dimakan, bangkai, juga tulang dan bulunya, kecuali bangkai-bangkai manusia dan ikan serta belalang.
F.      Cara menghilangkan najis
1.      Barang yang kena najis mughallazhah seperti jilatan anjing atau babi, wajib dibasuh 7 kali dan salah satu diantaranya dengan air yang bercampur tanah.
2.      Barang yang terkena najis mukhaffafah, cukup diperciki air pada tempat najis itu.
3.      Barang yang terkena najis mutawassithah dapat suci dengan cara di basuh sekali, asal sifat-sifat najisnya (warna, bau dan rasanya) itu hilang. Adapun dengan cara tiga kali cucian atau siraman lebih baik.
Jika najis hukmiyah cara menghilangkannya cukup dengan mengalirkan air saja pada najis tadi.
4.      Najis yang dimanfaatkan (Ma’fu).
Najis yang dimanfaatkan artinya tak usah dibasuh/dicuci, misalnya najis bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya, darah atau nanah yang sedikit, debu dan air lorong-lorong yang memercik sedikit yang sukar menghindarkannya.
Adapun tikus atau cecak yang jatuh ke dalam minyak atau makanan yang beku, dan ia mati di dalamnya, maka makanan yang wajib dibuang itu atau minyak yang wajib dibuang itu, ialah makananatau minyak yang dikenainya itu saja. Sedang yang lain boleh dipakai kembali. Bila minyak atau makanan yang dihinggapinya itu cair, maka semua makanan atau minyak itu hukumnya najis. Karena yang demikian itu tidak dapat dibedakan mana yang kena najis dan mana yang tidak.
G.    Istinja’
Segala yang keluar dari qubul dan dubur seperti kencing dan berak, wajib disucikan dengan air hingga bersih.
H.    Adap buang air
1.      Jangan ditempat yang terbuka
2.      Jangan ditempat yang dapat menganggu orang lain
3.      Jangan bercakap-cakap kecuali dalam keadaan yang memaksa
4.      Kalau terpaksa buang air di tempat terbuka, hendaknya jangan menghadap kiblat.
5.      Jangan membawa dan membaca kalimat al-quran
I.       Berwudhu
Wudlu’ menurut bahasa artinya bersih dan indah, sedang menurut syara’ artinya membersihkan anggota wudlu’ untuk menghilangkan hadats kecil.
Orang yang hendak melaksanakan shalat, wajib lebih dahulu berwudlu’, karena wudlu’ adalah menjadi syarat sahnya shalat.
Ø  Fardu wudhu
1.      Niat ketika membasuh muka
2.      Membasuh seluruh muka (mulai dari tumbuhnya rambut kepala hingga bawah dagu, dan telinga kanan hingga telinga kiri)
3.      Membasuk telinga kanan hingga siku-siku
4.      Mengusap sebagian kepala
5.      Membasuh kedua belah kaki sampai mata kaki
6.      Tertib.
Ø  Syarat-syarat wudhu
1.      Islam
2.      Tamyiz
3.      Tidak berhadas besar
4.      Dengan air sucu lgi mensucikan
5.      Tidak ada sesuatu yang menghalangi air, sampai keanggota wudhu
6.      Mengetahui mana yang wajib dan mana yang sunah
Ø  Sunat-sunat wudhu
1.      Membaca basmalah pada permulaan wudhu
2.      Membasuh kedua belah tangan hingga pergelangan
3.      Bekumur-kumur
4.      Membasuh lubang hidung sebelum berniat
5.      Menyapu seluruh kepala dengan air
6.      Mendahulukan anggota kanan dari pada kiri
7.      Menyapu kedua telinga luar dan dalam
8.      Menigakalikan membasuh
9.      Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki
Ø  Yang membatalkan wudhu
1.      Keluar sesuatu daru qubul dan dubur, misalnya buang air kecil maupun besar atau keluar angin dan sebagainya.
2.      Hilang akal sebab gila, pingsan, mabuk dan tidur nyenyak
3.      Tersentuh kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya dengan tidak memakai tutup, (muhrim artinya keluarga yang tidak boleh dinikah).
4.      Tersentuh kemaluan (qubul atau dubur) dengan tapak tangan atau jari-jarinya yang tidak memakai tutup (walaupun kemaluannya sendiri)
J.       Mandi/ wajib mandi
Shalat sebagaimana kita ketahui, sahnya juga suci dari hadats besar. Cara menghilangkan hadats besar dengan mandi wajib, yaitu membasuh seluruh tubuh mulai dari puncak kepala hingga ujung kaki.
Sebab-sebab yang membatalkan mandi:
1.      Bertemunya dua khitan (bersetubuh)
2.      Keluar mani disebabkan bersetubuh
3.      Mati
4.      Karena selesai nifas (bersalin; setelah selesai berhentinya keluar darah sesudah melahirkan)
5.      Karena wiladah
6.      Karena selesai haid
·         Fardu mandi
1.      Niat, berbareng dengan mula-mula membasuh muka
·         Sunah mandi
1.      Mendahulukan membasuh segala kotoran dan najis dari seluruh badan
2.      Membaca “Bismillahirrahmaanirrahiim” pada permulaan mandi
3.      Menghadap kiblat sewaktu mandi dan mendahulukan bagian kanan daripada kiri
4.      Membasuh badan sampai tiga kali
5.      Membaca do’a sebagaimana membaca do’a sesudah berwudlu’
6.      Mendahulukan mengambil air wudlu’, yakni sebelum mandi disunnatkan berwudlu’ lebih dahulu.
K.    Tayamum
·         Arti tayamum
·         Tayammum ialah mengusap muka dan dua belah tangan dengan debu yang suci. Pada suatu ketika tayammum itu dapat menggantikan wudlu dan mandi dengan syarat-syarat tertentu.
·         Syarat-syarat tayamum
a)      Tidak ada air dan telah berusaha mencarinya, tetapi tidak bertemu.
b)      Berhalangan menggunakan air, misalnya karena sakit yang apabila menggunakan air akan kambuh sakitnya.
c)      Telah masuk waktu sholat
d)     Dengan debu yang suci
·         Fardu tayamum
a)      Niat
b)      Mengusap muka dengan debu tanah, dengan dua kali usapan
c)      Mengusap dua belah tangan hingga siku-siku dengan debu tanah dua kali
d)     Memindahkan debu kepada anggota yang diusapkan
e)      Tertib (berturut-turut).
·         Cara mengunakan tayamum
·         Sekali bertayammum hanya dapat dipakai untuk satu shalat fardlu saja, meskipun belum batal. Adapun untuk dipakai shalat sunnat beberapa kali cukuplah dengan satu tayammum.
Bagi orang yang salah satu anggota wudlu’nya berbebat (dibalut), maka cukup bebat itu saja diusap dengan air atau tayammum, kemudian mengerjakan shalat.


9.      WADI’AH
A.    Pengertian wadi’ah
Titipan (Wadi’ah) artinya barang yang diserahkan (diamanahkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik. Jadi barang titipan itu, berarti barang amanah yang harus dikembalikan kepada orang yang memilikinya, bila ia datang meminta.
Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqih.
Ulama madzhab hanafi mendenifisikan:
تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو دلالة 

“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas maupun melalui isyarat”
Sedangkan madzhab syafi’i, maliki dan hanbali (jumhur uluma) nmendefinisikan:
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص

mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”.[2]
Penitipan barang dalam konteks KUHP perdata terjadi apabila seorang menerima suatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya.
Menurut sayid sabiq penitipan barang adalah merupakan amanah yang harus dijaga oleh penerima titipan, dan ia berkewajiban pula untuk memelihara serta mengembalikannya  pada saat dikehendaki atau diminta oleh pemilik, jadi merupakan perjanjian rill.
Penjelasan pasal 19 ayat (1) huruf a undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah menyebutkan bahwa yang dimaksud “akah wadi’ah” adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.
B.     Dasar hukum wadi’ah
Dasar hukum mengenai penitipan ada dalam ketentuan Al-qur’an surat al-baqoroh ayat 283:
jika sebagian kalu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah tuhannya”.
Sedangkan dalam Hadist dikemukakan bahwa: dari abu hurairah, nabi besar SAW telah bersabda:
bayarkanlah (kembalikan) petaruh (barang titipan) itu kepada yang mempercayai engkau, dan janganlah sekali-kali engkau khianat meskipun terhadap orang yang telah khianat kepadaku
Jadi perjanjian penitipan hukumnya ialah jaiz atau boleh. Namun demikian hukum derivatifnya bisa bermacam-macam, yaitu:
a.       Sunat, apabila pihak penerima titipan berkeyakinan bahwa dirinya sanggup atau mampu untuk menjaga barang titipan sebagaimana mestinya.
b.      Haram, apabila si penerima titipan tidak mampu untuk menjaga barang titipan sebagaimana mestinya.
c.       Makruh, apabila si penerima merasa mampu untuk menjaga barang titipan itu, akan tetapi dai merasa was-was apakah nantinya dia dapat berlaku amanah terhadap barang titipan yang diamanahkan kepadanya.
C.     Rukun wadi’ah
Rukun merupakan sesuatu yang mutlak harus ada dalam sebuah akad, sehingga jika ada salah satu rukun yang tidak dipenuhi , maka akad batal demi hukum dan padanya tidak mempunyai kekuatan mengingat secara hukum. Rukun dibedakan menjadi tiga macam, yaitu rukun menyangkut objeknya, rukun menyangkut subjeknya, dan rukun menyangkut lafaznya.
a.       Menyangkut objeknya
Objek yang dititipkan, haruslah merupakan  barang yang dimiliki secara sah oleh sipenitip.
b.      Menyangkut subjeknya
Kedua belah pihak harus telah sama-sama dewasa, mempunyai kapasitas untuk melakukan perbuatan hukum.
c.       Harus ada lafaz, artinya penitipan barang harus diucapkan yaitu adanya penyerahan dari penitip dan ucapan penerimaan dari pihak penerima titipan.
D.    Syarat-syarat wadi’ah
1)      Orang yang berakal
Menurut madzhab hanafi, orang yang berakad harus berakal. Anak kecil yang tidak berakal (mumayyiz) yang telah diizinkan oleh walinya, boleh melakukan akad wadi’ah. Mereka tidak mensyaratkan baligh dalam soal wadi’ah. Orang gila tidak dibenarkan melakukan akad wadi’ah.
Sedangkan menurut jumhur ulama, orang yang melakukan akad wadi’ah disyaratkan baligh, berakal dan cerdas (dapat bertindak secara hukum), karena akad wadi’ah, merupakan akad yang banyak mengandung resiko penipuan. Oleh karena itu, anak kecil kendatipun sudah berakal, tidak dapat melakukan akad wadi’ah baik sebagai orang yang menitipkan maupun sebagai orang yang menerima titipan. Disamping itu jumhur ulama juga mensyaratkan, bahwa orang yang berakad itu harus cerdas, walaupun ia sudah baligh dan berakal. Sebab, orang baligh dan berakal belum tentu dapat bertindak secara hukum, terutama sekali apabila terjadi persengketaan.
2)      Barang titipan
Barang titipan itu harus jelas dan dapat dipegang dan dikuasai. Maksudnya, barang titipan itu dapat diketahui jenisnya atau identitasnya dan dikuasai untuk dipelihara.
E.     Sifat akad wadi’ah
Ulama fiqh sepakat mengatakan, bahwa setatus wadi’ah bersifat amanat, bukan dhamaan, sehingga semua kerusakan penitipan tidak menjadi tanggung jawab pihak yanh menitipi, berbeda sekiranya kerusakan itu disengaja oleh orang yang dititipi, sebagai alasannya adalah sabda Rasulullah yang artinya:
orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan penghianatan tidak dikenakan ganti rugi”. (HR.Baihaqi dan Daru-Quthni).
Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan ganti rugi atas orang yang dititipi juga harus menjaga amanat dengan baik dan tidak boleh menuntut upah (jasa) dari orang yang menitipkan.
F.      Perubahan wadi’ah dari amanat menjadi dhamaan
Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu, bahwa akad wadi’ah adalah bersifat amanat dan imbalannya hanya mengharapkan ridha Allah semata. Namun, para ulama fiqh memikirkan juga kemungkinan lain, yaitu dari wadi’ah yang bersifat amanat berubah menjadi wadi’ah yang besifat dhamaah (ganti rugi).
Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
1.      Barang itu tidak dapat dipelihara oleh orang yang dititipi.
2.      Barang titipan itu dititipkan lagi kepada orang lain yang bukan keluarga dekat, atau orang bukan dibawah tanggung jawabnya.
3.      Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi, kemudian barang itu rusak atau hilang.
4.      Orang yang dititipi mengingkari ada barang titipan kepadanya.
5.      Orang yang menerima barang titipan itu, mencampuradukkan dengan barang pribadinya, sehingga sekiranya ada yang rusak atau hilang.
6.      Orang yang menerima titipan itu tidak menepati syarat-syarat yang dikemukakan oleh penitip barang itu, seperti tempat penyimpanannya dan syarat-syarat lainnya.
G.    Rusak dan hilangnya benda titipan
Jika orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus disertai dengan sumpah supaya perkataannya itu kuat kedudukannya menurut hukum, namun ibnu al-munzir berpendapat bahwa orang tersebut diatas sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah.
Menurut ibnu taimiyah apabila seseorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelola tidak ada yang mencuri, maka orang yang menerima benda-benda titipan tersebut wajib mengantinya.
Bila seseorang menerima benda-benda titipan, sudah sangat lama waktunya, sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemilik benda-benda titipan tersebut dan sudah berusaha mencarinya dengan cara yang wajar, namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas, maka benda-benda tersebut dapat digunakan untuk kepentingan agama islam, dengan mendahulukan hal-hal yang paling penting diantara masalah-masalah yang penting.


10. RIBA

1.      Definisi Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt yang artinya:
(ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).
2.      Ancaman Bagi Pelaku Riba 
Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan perdagangan. Seperti firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu." (an-Nisa': 29)
Islam sangat memuji orang yang berjalan di permukaan bumi untuk berdagang. Firman Allah:
"Sedang yang lain berjalan di permukaan bumi untuk mencari anugerah Allah." (al-Muzammil: 20)
Akan tetapi Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Maka diharamkannyalah riba itu sedikit maupun banyak, dan mencela orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah dilarangnya.
Di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah:
"Hai orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak mau berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan Rasul-Nya, dan jika kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi." (al-Baqarah: 278-279)
Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:
"Apabila riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk mendapat siksaan Allah." (Riwayat Hakim; dan yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dengan sanad yang baik)
Dalam hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam agama-agama samawi lainnya. Dalam agama Yahudi, di Perjanjian Lama terdapat ayat yang berbunyi: "Jikalau kamu memberi pinjam uang kepada ummatku, yaitu baginya sebagai penagih hutang yang keras dan jangan ambil bunga daripadanya." (Keluaran 22:25).
Dalam agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam Injil Lukas dikatakan:
 "Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu dan berbuat baik dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu..." (Lukas 6: 35).
Riba di haramkan baik dalam al-quran maupun hadis.berikut hadis yang melarang dan mengecam praktik riba dengan kata-kata yang tegas dan jelas. Dalam hadis ini tersebut dikatakan dengan jelas tentang laknat bagi pelaku riba. Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, pemberinya, penulisnya, kedua saksinya mereka semua sama. Nabi SAW bersabda : “riba itu sekalipun dapat menyebabkan bertambah banyak, tetapi akibatnya akan berkurang”
Hadis ini merupakan ancaman bagi orang yang melakukan praktik riba, bahwa riba memang dapat mendatangkan keuntungan besar bagi pelakunya, tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan berkah dari Allah SWT, sehingga pada akhirnya akan berkurang. Dalam alquran ditegaskan bahwa Allah SWT akan memusnahkan harta yang di peroleh dengan cara riba dan menghilangkan keberkahannya.
3.      Jenis-jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu
Ø  Riba hutang-piutang dan riba jual-beli.
Riba hutang-piutang terbagi menjadi 2 yaitu
1.    riba qardh dan 
2.    riba jahiliyyah.
Sedangkan riba jual-beli terbagi 2 juga yaitu 
1.      riba fadhl dan 
2.      riba nasi’ah.
Berikut penjelasannya :
a)      Riba hutang piutang ( yad )
·         Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
·         Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
b)      Riba jual beli ( bai’)
·         Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
·         Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau  tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
4.      Hukum Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).

5.      jenis - jenis Riba
Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.
Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang sudah ditentukan di awal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo. Riba model ini diharamkan oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam.
Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar barang yang sejenis dengan ada tambahan, misalnya tukar menukar uang dengan uang, menu makanan dengan makanan yang disertai dengan adanya tambahan.
Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw dan ijma’ kaum Muslimin, karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah. Beberapa Barang yang padanya Diharamkan Melakukan Riba Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang yang sudah ditegaskan nash-nash syar’i berikut:
Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “(Boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sebanding, sama dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 949, dan Muslim III: 1211 no: 81 dan 1587).
Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang sejenis dari empat jenis barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar dengan tamar, maka haram tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama baik dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa memperhatikan kualitasnya bermutu atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam majlis.
Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual emas dan perak yang barang-barangnya belum ada dengan kontan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208 no: 1584, Nasa’i VII: 278 dan Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na).
Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda. “Emas dengan emas adalah riba kecuali begini dengan begini (satu pihak mengambil barang, sedang yang lain menyerahkan) bur dengan bur (juga) riba kecuali begini dengan begini, sya’ir dengan sya’ir riba kecuali begini dengan begini, dan tamar dengan tamar adalah riba kecuali begini dengan begini.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bahri IV: 347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1209 no: 1586, Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasa’i VII: 273 dan bagi mereka lafadz pertama memakai adz-dzahabu bil wariq (emas dengan perak) dan Aunul Ma’bud IX: 197 no: 3332 dengan dua model lafadz).
Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah mendapat rizki berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1216 no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 311 no: 2080 secara ringkas dan Nasa’i VII: 272).
Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini dengan lain jenis, seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan dengan syarat harus diserah terimakan di majlis:
Berdasar hadits Ubadah tadi:
“…tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubadah ra Nabi saw bersabda: “Tidak mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak mengapa menjual bur dengan sya’ir dan sya’irnya lebih banyak daripada burnya secara kontan dan adapun secara kredit, maka tidak boleh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 195 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 198 no: 3333).






Tidak ada komentar:

Posting Komentar